Selasa, 23 Februari 2010

Doa Pagi

Di pagi yang indah ini sambil menikmati indahnya mentari pagi. Izinkan saya menyapa teman2 semua... teriring doa, Semoga anda dan keluarga senantiasa sehat selalu..

Tentunya sebuah kebahagiaan tersendiri kita bisa mengawali hari untuk bisa beraktifitas. Beraktifitas keluar rumah untuk berangkat kerja, berhati-hati dijalan untuk menjaga keselamatan dan jangan lupa memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala agar bisa sampai di tempat kerja dan kembali ke rumah dalam keadaan sehat walfiat serta dijauhkan dari hal-hal yang tidak baik maupun yang tidak kita inginkan. Sebagaimana Nabi Muhamad mengajarkan kepada kita setiap hendak beraktifitas yang senantiasa memanjatkan doa berikut ini:

'Allahuma inni a'udzu bika an adhilla, au udhalla, au azilla, au azhlam, au ajhal, au yujhala 'alayya.'

Artinya, Ya Allah, sungguh aku berlindung kepadaMu agar tidak tersesat atau disesatkan atau aku tergelincir atau digelincirkan atau aku berbuat dzalim atau didzalimi atau aku berbuat bodoh atau dibodohi (HR. Nasa'i, Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah).

Doa ini agar kita terhindar dari hal-hal yang buruk dalam perjalanan atau selama beraktifitas kita sehari-hari. Semoga kita semua dijauhkan dari hal-hal yang buruk.

Selamat Beraktifitas..

Whwn I Fall In Love

Allahu Rabbi izinkanlah aku...
bila suatu saat aku jatuh cinta
jangan biarkan cinta untuk-Mu berkurang
hingga membuat lalai akan adanya Engkau

Allahu Rabbi
aku punya pinta
bila suatu saat aku jatuh cinta
penuhilah hatiku dengan bilangan cinta-Mu yang tak terbatas
biar rasaku pada-Mu tetap utuh

Allahu Rabbi
izinkanlah bila suatu saat aku jatuh cinta
pilihkan untukku seseorang yang hatinya penuh dengan kasih-Mu
dan membuatku semakin mengagumi-Mu

Allahu Rabbi
bila suatu saat aku jatuh hati
pertemukanlah kami
berilah kami kesempatan untuk lebih mendekati cinta-Mu

Allahu Rabbi
pintaku terakhir adalah seandainya kujatuh hati
jangan pernah kau palingkan wajah-Mu dariku
anugerahkanlah aku cinta-Mu
cinta yang tak pernah pupus oleh waktu

aamiiin...

Ma, Lihat Kueku

Hari ini ulang tahun pernikahan papa dan mama. Sejak sore mereka pergi dan akan makan malam di luar. Aku ingin membuat kue tart dari resep yang kudapat di sebuah majalah. Setelah dua belas tahun, inilah pertama kalinya aku belajar membuat kue.

Aku akan mencoba membuat kue terbaik untuk kupersembahkan kepada papa dan mama di hari istimewa ini. Aku sudah membeli semua bahan yang diperlukan dan begitu mobil yang dikendarai apa dan mama keluar dari pagar rumah, aku segera berlari ke dapur untuk membuat kue.

Aku sangat sibuk dengan kueku sehingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Hari sudah malam dan mungkin sebentar lagi papa dan mama akan pulang. Aku mengangkat kueku dari oven. Aku mencicipinya dan lapisan luarnya terasa agak pahit karena gosong.

Aku menarik nafas sambil memandang dapur yang berantakan. Blender dan mixer yang kotor, ada tepung yang bertaburan di lantai dan meja, ditambah lagi dengan mangkok-mangkok kotor yang belum sempat kubereskan, dan sebagainya.

Mana yang lebih dahulu harus kukerjakan, apakah menyelesaikan lapisan coklat di kueku atau membereskan dapur yang berantakan. Akhirnya aku memutuskan untuk menyelesaikan kueku. Ketika kueku selesai, aku mendengar suara mobil memasuki halaman rumah.

Aku segera mematikan lampu dan berharap ketika papa dan mama masuk ke dapur akan senang dengan kejutanku. Benar saja, papa dan mama berjalan berdampingan menuju dapur dan ketika mereka sampai di pintu, aku menyalakan lampu sambil berteriak, “SURPRISE …!”

Mereka tersenyum dan aku memeluk mereka sambil mengucapkan selamat atas pernikahan indah mereka. Namun beberapa saat kemudian raut wajah mama berubah dan mama menjadi marah. “Coba lihat, apa yang sudah kau perbuat di dapur ini sehingga sangat berantakan. Sudah berapa kali mama katakan kepadamu untuk segera merapihkan sendiri segala sesuatu yang sudah kau buat menjadi kacau”

“Tetapi Ma …”

Belum sempat aku menjelaskan semuanya, mama sudah berpaling berjalan menuju kamarnya sambil berkata, “Seharusnya mama mengawasimu merapikan semua ini sekarang juga, tetapi sekarang mama sedang kesal. Besok pagi mama mau semuanya sudah rapih.”

“Sayang, coba lihat ke meja itu,” kata papa mencoba meredakan amarah mama.

“Aku tahu bahwa meja itu juga sangat berantakan dan aku juga tidak akan tahan melihatnya,” kata mama sambil berjalan.

Aku dan papa hanya terdiam. Aku menangis dan memeluk papa sambil berkata, “Pa, bahkan mama tidak melirik sedikit pun ke kue itu.”

Papa membelai rambutku sambil berkata, “Sayang, banyak orang tua menderita penyakit situational timberculer glaucoba - ketidakmampuan melihat gambaran secara menyeluruh karena terpengaruh oleh hal-hal kecil, dan itu yang terjadi kepada mama. Besok setelah mama tahu kau membuat kue untuknya, hatinya pasti akan terharu.”

Kita seringkali gagal melihat motivasi baik yang terbungkus oleh suatu keadaan yang buruk. Situational timberculer glaucoba membutakan kita sehingga kita tidak bisa melihat bentuk cinta kasih atau penghargaan yang dipersiapkan oleh orang-orang yang kita kasihi. Ada seorang ibu yang mencubit anaknya hingga memar karena anaknya memecahkan dua buah piring yang akan dicucinya. Manakah yang lebih berharga, terbentuknya kerajinan anak atau harga dua buah piring yang pecah itu ?

Jangan lukai perasaan orang yang kita kasihi karena hal-hal yang kecil, telusuri motivasi awal mereka ketika melakukan suatu hal kemudian bimbing mereka untuk melakukannya dengan cara yang lebih baik.

Adab – adab Bertamu Dalam Islam

Di antara kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling mengunjungi atau bertamu, yang dikenal dengan isitilah silaturrahmi oleh kebanyakan masyarakat. Walaupun sesungguhnya istilah silaturrahmi itu lebih tepat (dalam syari’at) digunakan khusus untuk berkunjung/ bertamu kepada sanak famili dalam rangka mempererat hubungan kekerabatan.
Namun, bertamu, baik itu kepada sanak kerabat, tetangga, relasi, atau pihak lainnya, bukanlah sekedar budaya semata melainkan termasuk perkara yang dianjurkan di dalam agama Islam yang mulia ini. Karena berkunjung/bertamu merupakan salah satu sarana untuk saling mengenal dan mempererat tali persaudaraan terhadap sesama muslim.
Allah berfirman: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.” (Al Hujurat: 13)
Rasulullah bersabda:
إِذَا عَادَ الرَّجُلُ أَخَاهُ أَوْ زَارَهُ ، قَالَ اللهُ لَهُ : طِبْتَ وَطِابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مَنْزِلاً فِي الْجَنَّةِ
“Bila seseorang mengunjungi saudaranya, maka Allah berkata kepadanya: “Engkau dan perjalananmu itu adalah baik, dan engkau telah menyiapkan suatu tempat tinggal di al jannah (surga).” (Shahih Al Adabul Mufrad no. 345, dari shahabat Abu Hurairah )
Namun yang tidak boleh dilupakan bagi orang yang hendak bertamu adalah mengetahui adab-adab dan tata krama dalam bertamu, dan bagaimana sepantasnya perangai (akhlaq) seorang mukmin dalam bertamu. Karena memiliki dan menjaga perangai (akhlaq) yang baik merupakan tujuan diutusnya Rasulullah , sebagaimana beliau bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُ تَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus dalam rangka menyempurnakan akhlaq (manusia).”
Oleh karena itu, pada kajian kali ini, akan kami sebutkan beberapa perkara yang hendaknya diperhatikan dalam bertamu. Di antaranya sebagai berikut:
1. Beri’tikad Yang Baik
Di dalam bertamu hendaknya yang paling penting untuk diperhatikan adalah memilki i’tikad dan niat yang baik. Bermula dari i’tikad dan niat yang baik ini akan mendorong kunjungan yang dilakukan itu senantiasa terwarnai dengan rasa kesejukan dan kelembutan kepada pihak yang dikunjungi.
Bahkan bila ia bertamu kepada saudaranya karena semata-mata rasa cinta karena Allah dan bukan untuk tujuan yang lainnya, niscaya Allah akan mencintainya sebagaimana ia mencintai saudaranya. Sebagaimana Rasulullah :
زَارَ رَجُلٌ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ لَهُ فَأَرْصَدَ اللهُ مَلَكًا عَلَى مَدْرَحَتِهِ ، فَقَالَ : أَيْنَ تُرِيْدُ ؟ قَالَ : أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. فَقَالَ : هَلْ لَهُ عَلَيْكَ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا ؟ لاَ قَالَ : أُحِبُّهُ فِي اللهِ. قَالَ : فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ ، أَنَّ اللهَ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ
“Ada seseorang yang berkunjung kepada saudaranya di dalam suatu kampung, maka Allah mengirim malaikat untuk mengawasi arah perjalanannya. Ia (malaikat) bertanya kepadanya: “Mau kemana anda pergi? Ia menjawab: “Kepada saudaraku yang ada di kampung ini. Malaikat berkata: “Apakah dia memiliki nikmat (rizki) yang akan diberikan kepada engkau. Dia menjawab: “Tidak, semata-mata saya mencintainya karena Allah. Malaikat berkata: “Sesungguhnya saya diutus oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu.” (Shahih Al Adabul Mufrad no. 350, Ash Shahihah no. 1044)
2. Tidak Memberatkan Bagi Tuan Rumah
Hendaknya bagi seorang tamu berusaha untuk tidak membuat repot atau menyusahkan tuan rumah, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah :
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُقِيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ؟ قَالَ: يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْءَ لَهُ يَقْرِيهِ بِهِ
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk tinggal di tempat saudaranya yang kemudian saudaranya itu terjatuh ke dalam perbuatan dosa. Para shahabat bertanya: “Bagaimana bisa dia menyebabkan saudaranya terjatuh ke dalam perbuatan dosa?” Beliau menjawab: “Dia tinggal di tempat saudaranya, padahal saudaranya tersebut tidak memiliki sesuatu yang bisa disuguhkan kepadanya.” (HR. Muslim)
Al Imam An Nawawi berkata: “Karena keberadaan si tamu yang lebih dari tiga hari itu bisa mengakibatkan tuan rumah terjatuh dalam perbuatan ghibah, atau berniat untuk menyakitinya atau berburuk prasangka (kecuali bila mendapat izin dari tuan rumah).” (Lihat Syarh Shahih Muslim 12/28)
3. Memilih Waktu Berkunjung
Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu juga memperhatikan dengan cermat waktu yang tepat untuk bertamu. Karena waktu yang kurang tepat terkadang bisa menimbulkan perasaan yang kurang baik dari tuan rumah bahkan tetangganya.
Dikatakan oleh shahabat Anas :
كَانَ رَسُولُ اللهِ لاَ يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلاً وَكَانَ يَأْتِيْهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً
“Rasulullah tidak pernah mengetuk pintu pada keluarganya pada waktu malam. Beliau biasanya datang kepada mereka pada waktu pagi atau sore.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Demikianlah akhlak Nabi , beliau memilih waktu yang tepat untuk mengunjungi keluarganya, lalu bagaimana lagi jika beliau hendak bertamu/mengunjungi orang lain (shahabatnya)? Tentunya kita semua diperintahkan untuk meneladani beliau .
4. Meminta Izin Kepada Tuan Rumah
Hal ini merupakan pengamalan dari perintah Allah di dalam firman-Nya (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat.” (An Nur: 27)
Di dalam ayat tersebut, Allah memberikan bimbingan kepada kaum mukminin untuk tidak memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. Di antara hikmah yang terkandung di dalamnya adalah:
Untuk menjaga pandangan mata. Rasulullah bersabda:
إِنَّمَاجُعِلَ اْلاسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ
“Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga pandangan mata.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya sebagaimana pakaian itu sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika seorang tamu meminta izin kepada penghuni rumah terlebih dahulu, maka ada kesempatan bagi penghuni rumah untuk mempersiapkan kondisi di dalam rumahnya tersebut. Sehingga tidaklah dibenarkan ia melihat ke dalam rumah melalui suatu celah atau jendela untuk mengetahui ada atau tidaknya tuan rumah sebelum dipersilahkan masuk.
Di antara mudharat yang timbul jika seseorang tidak minta izin kepada penghuni rumah adalah bahwa hal itu akan menimbulkan kecurigaan dari tuan rumah, bahkan bisa-bisa dia dituduh sebagai pencuri, perampok, atau yang semisalnya, karena masuk rumah orang lain secara diam-diam merupakan tanda kejelekan. Oleh karena itulah Allah melarang kaum mukminin untuk memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. (Taisirul Karimir Rahman, Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di)
Bagaimana Tata Cara Meminta Izin?
Para pembaca, dalam masalah meminta izin Rasulullah telah memberikan sekian petunjuk dan bimbingan kepada umatnya, di antaranya adalah:
a. Mengucapkan salam
Diperintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu, sebagaimana ayat di atas (An Nur: 27).
Pernah salah seorang shahabat beliau dari Bani ‘Amir meminta izin kepada Rasulullah yang ketika itu beliau sedang berada di rumahnya. Orang tersebut mengatakan: “Bolehkah saya masuk?” Maka Rasulullah pun memerintahkan pembantunya dengan sabdanya:
اخْرُجْ إِلَى هَذَا فَعَلِّمْهُ الاسْتِئْذَانَ ، فَقُلْ لَهُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ ؟
“Keluarlah, ajari orang ini tata cara meminta izin, katakan kepadanya: Assalamu ‘alaikum, bolehklah saya masuk?
Sabda Rasulullah tersebut didengar oleh orang tadi, maka dia mengatakan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ؟
Akhirnya Nabi pun mempersilahkannya untuk masuk rumah beliau. (HR. Abu Dawud)
Lihatlah wahai pembaca, perkataan “Bolehkah saya masuk” atau yang semisalnya saja belum cukup. Bahkan Nabi memerintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dulu.
Bahkan mengucapkan salam ketika bertamu juga merupakan adab yang pernah dicontohkan oleh para malaikat (yang menjelma sebagai tamu) yang datang kepada Nabi Ibrahim u sebagaimana yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya (artinya): “Ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan salam.” (Adz Dzariyat: 25)
b. Meminta izin sebanyak tiga kali
Rasulullah bersabda:
الاسْتِئْذَانُ ثَلاَثٌ، فَإِنْ أُذِنَ لَكَ وَإِلاَّ فَارْجِعْ
“Meminta izin itu tiga kali, apabila diizinkan, maka masuklah, jika tidak, maka kembalilah.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Hadits tersebut memberikan bimbingan kepada kita bahwa batasan akhir meminta izin itu tiga kali. Jika penghuni rumah mempersilahkan masuk maka masuklah, jika tidak maka kembalilah. Dan itu bukan merupakan suatu aib bagi penghuni rumah tersebut atau celaan bagi orang yang hendak bertamu, jika alasan penolakan itu dibenarkan oleh syari’at. Bahkan hal itu merupakan penerapan dari firman Allah (artinya): “Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembalilah, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An Nur: 28)
5. Mengenalkan Identitas Diri
Ketika Rasulullah menceritakan tentang kisah Isra’ Mi’raj, beliau bersabda: “Kemudian Jibril naik ke langit dunia dan meminta izin untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: “Siapa anda?” Jibril menjawab: “Jibril.” Kemudian ditanya lagi: “Siapa yang bersama anda?” Jibril menjawab: “Muhammad.” Kemudian Jibril naik ke langit kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya di setiap pintu langit, Jibril ditanya: “Siapa anda?” Jibril menjawab: “Jibril.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Sehingga Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam kitabnya yang terkenal Riyadhush Shalihin membuat bab khusus, “Bab bahwasanya termasuk sunnah jika seorang yang minta izin (bertamu) ditanya namanya: “Siapa anda?” maka harus dijawab dengan nama atau kunyah (panggilan dengan abu fulan/ ummu fulan) yang sudah dikenal, dan makruh jika hanya menjawab: “Saya” atau yang semisalnya.”
Ummu Hani’, salah seorang shahabiyah Rasulullah mengatakan:”Aku mendatangi Nabi ketika beliau sedang mandi dan Fathimah menutupi beliau. Beliau bersabda: “Siapa ini?” Aku katakan: “Saya Ummu Hani’.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Demikianlah bimbingan Nabi yang langsung dipraktekkan oleh para shahabatnya, bahkan beliau pernah marah kepada salah seorang shahabatnya ketika kurang memperhatikan adab dan tata cara yang telah beliau bimbingkan ini. Sebagaimana dikatakan oleh Jabir :”Aku mendatangi Nabi , kemudian aku mengetuk pintunya, beliau bersabda: “Siapa ini?” Aku menjawab: “Saya.” Maka beliau pun bersabda: “Saya, saya..!!.” Seolah-olah beliau tidak menyukainya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
6. Menyebutkan Keperluannya
Di antara adab seorang tamu adalah menyebutkan urusan atau keperluan dia kepada tuan rumah. Supaya tuan rumah lebih perhatian dan menyiapkan diri ke arah tujuan kujungan tersebut, serta dapat mempertimbangkan dengan waktu/ keperluannya sendiri. Hal ini sebagaimana Allah mengisahkan para malaikat yang bertamu kepada Ibrahim u di dalam Al Qur’an (artinya): “Ibrahim bertanya: Apakah urusanmu wahai para utusan?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa.” (Adz Dzariyat: 32)
7. Segera Kembali Setelah selesai Urusannya
Termasuk pula adab dalam bertamu adalah segera kembali bila keperluannya telah selesai, supaya tidak mengganggu tua rumah. Sebagaimana penerapan dari kandungan firman Allah : “…tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan bila telah selesai makan kembalilah tanpa memperbanyak percakapan,…” (Al Ahzab: 53)
8. Mendo’akan Tuan Rumah
Hendaknya seorang tamu mendoakan atas jamuan yang diberikan oleh tuan rumah, lebih baik lagi berdo’a sesuai dengan do’a yang telah dituntunkan Nabi , yaitu:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِيْ مَا رَزَقْتَهُمْ وَ اغْفِرْ لَهُمْ وَ ارْحَمْهُمْ
“Ya Allah…, berikanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau berikan rizki kepada mereka, ampunilah mereka, dan rahmatilah mereka.” (HR. Muslim)
Demikianlah tata cara bertamu, mudah-mudahan pembahasan ini menjadi bekal bagi kita (kaum muslimin) untuk lebih bersikap sesuai dengan bimbingan Nabi dalam bertamu.

Wallahu a’lam bis showab.

Mempersiapkan Anak Mengenal Internet

Saat ini, rasanya tidak mungkin hidup tanpa komputer dan koneksi internet. Pertumbuhan jumlah pengguna internet dari 25 juta pengguna dan diperkirakan akan meningkat dalam dua tahun ke depan sampai angka 80 juta pengguna, membuat orang tua mesti mengetahui, kapan tepatnya anak-anak bisa mendapatkan komputer mereka sendiri dan terhubung dengan internet. Hal ini menjadi penting, mengingat melepaskan anak-anak bersama komputer dan jaringan internet, seperti melepaskan mereka untuk masuk ke dalam rimba belantara dengan segala macam resikonya. Jika para orang tua bisa membekali anak-anaknya dengan pengetahuan dan cara aman untuk menjelajahi internet, anak-anak justru bisa mendapatkan banyak manfaat dari penjelajahan mereka di dunia maya.

Pada usia 1 dan 2 tahun, anak-anak bisa mulai diperkenalkan dengan dasar-dasar keyboard dan mouse. Mereka akan melatih keterampilan motorik mereka untuk menggunakan dua alat ini.

Sementara pada usia 3 atau 4 tahun, anak-anak mulai mampu memahami alur cerita dan teka-teki sederhana untuk di pecahkan. Mereka akan mengenali huruf dan angka. Pengenalan pada komputer diusia ini, dapat membantu mereka untuk lebih mengenali huruf-huruf, angka dan pola cerita sederhana. Pada usia ini juga, anak dapat diperkenalkan dengan pola penggunaaan komputer yang sehat, seperi cara duduk yang benar dan mengambil waktu istirahat secara teratur ketika menggunakan komputer. Hal yang penting untuk diajarkan pada anak usia 4-5 tahun adalah memastikan bahwa mereka memahami aturan keluarga tentang komputer, seperti meminta izin untuk menggunakan software yang tidak biasa mereka gunakan dan juga pastikan orang tua mendampingi mereka, ketika mereka menggunakan fasilitas online misalnya ketika menggunakan fasilitas game online. Sebagai orang tua, sudah semestinya anda mengetahui situs apa saja yang diakses anak anda pada usia ini.

Usia 6 tahun ke atas, tuntutan untuk lebih mandiri dan leluasa dalam mengakses internet menjadi kebutuhan anak-anak. Jika mereka mulai membuat account email pribadi, pastikan bahwa orang tua mengetahui alamat email anak-anak anda. Lebih baik jika anda menggunakan fasilitas Outlook untuk inbox email pada komputer rumah, sehingga orang tua masih bisa memantau email-email yang masuk. Beri pengetahuan tentang spam dan email-email yang dicurigai mengandung virus atau tawaran-tawaran yang menyesatkan. Pastikan bahwa mereka memenuhi syarat usia minimal 13 tahun untuk mendapatkan fasilitas email atau blog pribadi.

Sebagai orang tua, anda harus menekankan pada anak-anak anda (tentunya pada diri anda sendiri juga), untuk tidak sembarangan memposting informasi ke internet. Karena anda tidak pernah tau, apa yang akan terjadi dengan informasi-informasi itu. Hindari memposting informasi-informasi pribadi, seperti alamat rumah, no. telpon, atau informasi-informasi yang sekiranya bisa disalah gunakan oleh orang lain. Ajari anak-anak untuk menggunakan bahasa yang santun dan bertanggung jawab ketika mulai menulis di blog mereka.

Sebagai orang tua, andalah yang sesungguhnya berhak untuk memutuskan kapan anak-anak anda akan diperkenalkan dengan komputer dan internet. Jika sudah membuat aturan main, anda juga harus berdisiplin dengan aturan yang sudah anda buat sendiri. Jangan salahkan anak anda, jika mereka tidak mematuhi aturan main yang anda buat, jika anda sendiri seringkali melanggarnya.

Hal yang sangat penting sebelum memperkenalkan anak anda dengan komputer dan internet, pastikan bahwa kebiasaan berkomunikasi secara langsung di keluarga anda berjalan dengan baik. Kebiasaan berinternet tanpa kemampuan berkomunikasi secara langsung dengan baik, hanya akan menjauhkan anak-anak anda dengan dunia nyata di sekelilingnya. Semenakjubkan apapun yang ditawarkan oleh internet, termasuk pesona jejaring sosial seperti facebook, twitter, itu semua bukan sesuatu yang nyata. Keterhubungan anak-anak (dan mungkin anda juga) dengan dunia nyata jauh lebih penting dari petualangan di dunia maya. Aktualisasi diri di dunia nyata adalah kesempatan nyat untuk berkontribusi pada perubahan. Jadi bijaksanalah dalam menetapkan porsi waktu anak-anak terhubung dengan komputer dan internet. Jangan sampai, karena tidak ingin anak 'ketinggalan informasi', orang tua justru menghilangkan kesempatan anak untuk mengaktualisasikan dirinya di dunia nyata.

Ternyata Orang Cacatlah Obatnya

Pak Hasan, adalah jama'ah dari embarkasi Surabaya. Ia dan istrinya
berangkat ke Mekkah kebetulan pada tahap gelombang ke dua. Artinya
mereka datang dari Indonesia langsung ke Mekah terlebih dahulu, baru
kemudian ke Madinah.


Kondisi pak Hasan ketika berangkat memang agak sakit. Batuk pilek setiap
hari. Sampai dipakai berbicara saja tenggorokannya sudah terasa sakit.
Batuk pilek yang semacam itu memang membuat badan begitu capek lunglai.
Semua persendian terasa sakit. Sehingga menjadikan tubuh menjadi malas
untuk diajak beraktivitas.


Beberapa kali pak Hasan diobati oleh dokter kloternya. Tetapi tetap saja
sakitnya tidak bisa sembuh. Rasanya semua macam obat yang berhubungan
dengan penyakitnya sudah ia minum. Tetapi tetap saja badan lunglai,
kepala pusing bahkan batuknya tidak pernah berhenti. Badan dengan
kondisi semacam itu, mengakibatkan pak Hasan sehari-harinya berdiam diri
saja di hotel. Beberapa kali istrinya mengajaknya ke masjidil Haram,
tetapi rupanya tubuh pak Hasan tidak bisa diajak kompromi, ia malas
untuk pergi ke masjid.


"Aku belum bisa bu, dan belum kuat untuk pergi ke masjid. Ibu dulu
aja-lah. Nanti setelah badanku sembuh aku akan ke masjid dan akan
melakukan ibadah dengan sebaik-baiknya. .." demikian kata pak Hasan
kepada istrinya.


Karena sudah beberapa kali, jawaban pak Hasan selalu seperti itu, maka
pada hari itu istri pak hasan memohon dengan agak setengah memaksa
kepada pak Hasan agar siang itu mereka bisa bersama ke masjid untuk
melakukan ibadah. Baik itu thawaf, maupun shalat-shalat wajibnya.


Maka dengan agak terpaksa, berangkat juga mereka ke masjid. Pak Hasan di
sepanjang perjalanan menuju masjid tiada henti-hentinya batuk. Bahkan
kakinya begitu capek dipakai untuk berjalan. Tetapi toh, akhirnya sampai
juga mereka di masjidil Haram. Meskipun jarak dari maktab mereka menuju
masjid cukup jauh.


Sesampai di masjid, mereka mencari tempat yang cukup nyaman. Pak Hasan
dan istrinya melakukan thawaf sunah sebagai penghormatan masuk masjidil
Haram, sebelum mereka melakukan ibadah lainnya.


Ketika pak Hasan dan istrinya melakukan thawaf inilah bagian dari cerita
ini dimulai... Dengan terbata-bata, dan masih digandeng oleh istrinya
pak Hasan mulai melakukan thawaf. Diayunkannya kaki kanannya untuk
memulai thawaf.


"Bismillaahi allaahu akbar...!"Demikian kalimat pertama yang dilontarkan
pak Hasan sebagai pertanda ia memulai thawafnya. Maka dengan hati-hati
sekali, karena khawatir badannya bertambah lunglai, pak Hasan
melangkahkan kakinya berjalan memutari Ka'bah. Pada saat pak Hasan
beberapa langkah memulai thawafnya itu, tiba-tiba di sebelah kanannya,
yang hampir berhimpitan dengan pak Masan, ada seorang bertubuh kecil
yang juga bergerak melakukan thawaf, beriringan dengan pak Hasan. Entah
apa yang menyebabkan pak Hasan tertarik dengan orang 'kecil' itu, sambil
berjalan lambat pak Hasan memperhatikan orang itu lebih seksama .
"Mengapa orang itu tubuhnya pendek, bahkan cenderung seperti anak
kecil?" pikirnya.


Setelah beberapa lama pak Hasan memperhatikan orang tersebut, di tengah
riuhnya para jamaah yang juga sedang melakukan thawaf itu, tiba-tiba pak
Hasan menjerit lirih! " akh... !" katanya.


Begitu terkejutnya pak Hasan, sampai-sampai pak Hasan agak terhenti
langkahnya. Anehnya, orang itu pun ikut berhenti sejenak, kemudian
menoleh kepada pak Hasan sambil tersenyum. Ketika pak Hasan berjalan
lagi, dia pun berjalan lagi, dan terus mengikuti di samping pak Hasan.
Ketika pak Hasan mempercepat langkah kakinya, orang itu pun ikut
mepercepat gerakannya, sehingga tetap mereka berjalan beriringan.


Muka pak Hasan kelihatan pucat pasi. Bibirnya agak gemetar menahan
tangis. Ia betul-betul terpukul oleh perilaku orang tersebut. Seperti
dengan sengaja, orang itu terus mengikuti gerakan pak Hasan dari samping
kanan. Bahkan yang membuat pak Hasan mukanya pucat adalah orang
tersebut selalu tersenyum, setelah menoleh ke arah pak Hasan. Siapakah
orang tersebut ?


Ternyata dia adalah seorang yang berjalan dan bergerak thawaf
mengelilingi ka'bah dengan hanya menggunakan kedua tangannya saja. Dia
orang yang tidak memiliki kaki....! Kedua kakinya buntung sebatas paha.
Sehingga ia berjalan hanya dengan menggunakan kedua tangannya.


Bulu kuduk pak Hasan merinding, jantungnya seolah berhenti berdegub.
Keringat dingin membasahi seluruh pori-pori tubuhnya...


Pak Hasan merintih dalam hatinya :

"...Ya Allaah ampuni aku ya Allaah..., ampuni aku..." Air mata pak Hasan
tidak bisa dibendung lagi. Sambil tetap berjalan pak Hasan terus mohon
ampun kepada Allah.


Tanpa terasa, pak Hasan sudah memutari ka'bah untuk yang ke dua kalinya.
Dan pak Hasan pun masih terus menangis. Ingin rasanya ia berlari
memutari ka'bah itu. Ingin rasanya ia menjerit keras-keras untuk
melampiaskan emosinya.... pak Hasan tidak tahu bahwa pada putaran yang
ke dua itu ia sudah tidak bersama lagi dengan orang tanpa kaki tersebut.
Tidak tahu ke manakah perginya orang cacat itu. Seorang yang selalu
tersenyum meskipun tanpa kedua kaki.


Apa gerangan yang dipikirkan pak Hasan saat itu? Pak Hasan begitu malu
pada dirinya sendiri! Apalagi kepada Allah Swt. Pak Hasan merasa bahwa
memang sakit. Sakit flu, batuk, badan capek. Dan sudah beberapa hari
berdiam diri saja di hotel tidak ke masjid untuk thawaf. Dengan alasan
badan capek, tenggorokan sakit, bahkan obat dokter tidak ada yang bisa
menyembuhkannya.


Sekarang, ditengah-tengah hiruk pikuknya para jama'ah yang sedang
melakukan thawaf, ternyata ada seorang yang tidak punya kaki, yang
kondisi tubuhnya sangat menyedihkan, tapi dengan mulut tersenyum ia
melakukan thawaf...Akh! betapa terpukulnya harga diri pak Hasan. Ia
punya kedua kaki, badannya tegap, pikirannya cerdas, datang jauh dari
Indonesia, tetapi terserang penyakit ringan sejenis flu saja sudah tidak
mau beribadah? Sementara orang itu.....


Sungguh pak Hasan tidak kuasa bicara lagi. Ingin rasanya ia menjerit
mohon ampunan Allah Swt.... Atas kesalahan fatal, yang ia lakukan. Dan
sejak saat itu, pak Hasan tiba-tiba dapat bergerak gesit. Ia berjalan
penuh dengan semangat mengelilingi ka'bah pada putaran-putaran
berikutnya. Dan secara tidak ia sadari badan pak Hasan menjadi kuat. Ia
tidak batuk-batuk lagi, bahkan tenggorokannya terasa begitu ringan,
ketika dipakai untuk berdo'a kepada Allah...!


Istri pak Hasan yang berjalan di samping pak Hasan, tidak mengetahui
secara detail, apa yang terjadi dalam diri pak Hasan. Yang ia tahu
tiba-tiba pak Hasan tidak batuk lagi, jalannya tidak lamban, bahkan
cenderung gesit. Ah, rupanya pak Hasan sudah sembuh


Ia disembuhkan oleh Allah lewat 'peragaan' orang cacat, yang selalu
tersenyum meskipun ia tidak punya kaki. Obat dokter tidak bisa
menyembuhkan pak Hasan, justru thawaf seorang cacat-lah, yang menjadi
obat mujarabnya..


Mengapa bisa demikian ?


Sebab begitu pak hasan menyadari akan kesalahannya, ia langsung mohon
ampun sejadi-jadinya atas kekeliruan yang telah ia lakukan. Penyesalan
yang tiada terhingga itulah rupanya obat yang sesungguhnya.


Bagaimana kita mensyukuri banyak nikmat-Nya Allah SWT dari sedikit
kesulitan yang kita hadapi.... Bersyukurlah

KISAH NABI AYUB as.

Nabi Ayub as menggambarkan sosok manusia yang paling sabar, bahkan bisa dikatakan bahwa beliau berada di puncak kesabaran. Sering orang menisbatkan kesabaran kepada Nabi Ayub. Misalnya, dikatakan: seperti sabarnya Nabi Ayub. Jadi, Nabi Ayub menjadi simbol kesabaran dan cermin kesabaran atau teladan kesabaran pada setiap bahasa, pada setiap agama, dan pada setiap budaya. Allah SWT telah memujinya dalam kitab-Nya yang berbunyi:
"Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaih-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS. Shad: 44)
Yang dimaksud al-Aubah ialah kembali kepada Allah SWT. Nabi Ayub adalah seseorang yang selalu kembali kepada Allah SWT dengan zikir, syukur, dan sabar. Kesabarannya menyebabkan beliau memperoleh keselamatan dan rahasia pujian Allah SWT padanya.
Al-Qur'an al-Karim tidak menyebutkan bentuk dari penyakitnya, dan banyak cerita-cerita dongeng yang mengemukakan tentang penyakitnya. Dikatakan bahwa beliau terkena penyakit kulit yang dahsyat sehingga manusia-manusia enggan untuk mendekatinya. Dalam cuplikan kitab Taurat disebutkan berkenaan dengan Nabi Ayub: "Maka keluarlah setan dari haribaan Tuhan dan kemudian Ayub terkena suatu luka yang sangat mengerikan dari ujung kakinya sampai kepalanya." Tentu kita menolak semua ini sebagai suatu hakikat yang nyata. Kami pun tidak mentolerir jika itu dianggap sebagai perbuatan seni semata. Perhatikanlah ungkapan dalam Taurat: "Kemudian setan keluar dari haribaan Tuhan kita," sebagai orang-orang Muslim, kita mengetahui bahwa setan telah keluar dari haribaan Tuhan sejak Allah SWT menciptakan Adam as. Maka, kapan setan kembali keharibaan Tuhan? Kita berada di hadapan ungkapan seni, tetapi kita tidak berada di hadapan suatu hakikat.
Lalu, bagaimana hakikat sakitnya Nabi Ayub dan bagaimana kisahnya? Yang populer tentang cobaan Nabi Ayub dan kesabarannya adalah riwayat berikut: para malaikat di bumi berbicara sesama mereka tentang manusia dan sejauh mana ibadah mereka. Salah seorang di antara mereka berkata: "Tidak ada di muka bumi ini seorang yang lebih baik daripada Nabi Ayub. Beliau adalah orang mukmin yang paling sukses, orang mukmin yang paling agung keimanannya, yang paling banyak beribadah kepada Allah SWT dan bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya dan selalu berdakwah di jalan-Nya." Setan mendengarkan apa yang dikatakan lalu ia merasa terganggu dengan hal itu. Kemudian ia pergi menuju ke Nabi Ayub dalam rangka berusaha menggodanya tetapi Nabi Ayub adalah seorang Nabi di mana hatinya dipenuhi dengan ketulusan dan cinta kepada Allah SWT sehingga setan tidak mungkin mendapatkan jalan untuk mengganggunya.
Ketika setan berputus asa dari mengganggu Nabi Ayub, ia berkata kepada Allah SWT: "Ya Rabbi, hamba-Mu Ayub sedang menyembah-Mu dan menyucikan-Mu namun, ia menyembah-Mu bukan karena cinta, tapi ia menyembah-Mu karena kepentingan-kepentingan tertentu. Ia menyembah-Mu sebagai balasan kepada-Mu karena Engkau telah memberinya harta dan anak dan Engkau telah memberinya kekayaan dan kemuliaan. Sebenarnya ia ingin menjaga hartanya, kekayaannya, dan anak-anaknya. Seakan-akan berbagai nikmat yang Engkau karuniakan padanya adalah rahasia dalam ibadahnya. Ia takut kalau-kalau apa yang dimilikinya akan binasa dan hancur. Oleh karena itu, ibadahnya dipenuhi dengan hasrat dan rasa takut. Jadi, di dalamnya bercampur antara rasa takut dan tamak, dan bukan ibadah yang murni karena cinta."
Riwayat tersebut mengatakan bahwa Allah SWT berkata kepada iblis: "Sesungguhnya Ayub adalah hamba yang mukmin dan sejati imannya. Ayub menjadi teladan dalam keimanan dan kesabaran. Aku membolehkanmu untuk mengujinya dalam hartanya. Lakukan apa saja yang engkau inginkan, kemudian lihatlah hasil dari apa yang engkau lakukan."
Akhirnya, setan pergi dan mendatangi tanah Nabi Ayub dan berbagai tanaman dan kenikmatan yang dimilikinya. Kemudian setan itu menghancurkan semuanya. Keadaan Nabi Ayub pun berubah dari puncak kekayaan ke puncak kefakiran. Kemudian setan menunggu apa tindakan Nabi Ayub. Nabi Ayub berkata: "Oh musibah dari Allah SWT. Aku harus mengembalikan kepada-Nya amanat yang ada di sisi kami di mana Dia saat ini mengambilnya. Allah SWT telah memberi kami nikmat selama beberapa masa. Maka segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat yang diberikannya, dan Dia mengambil dari kami pada hari ini nikmat-nikmat itu. Bagi-Nya pujian sebagai Pemberi dan Pengambil. Aku dalam keadaan ridha dengan keputusan Allah SWT. Dia-lah yang mendatangkan manfaat dan mudharat. Dia-lah yang ridha dan Dialah yang murka. Dia adalah Penguasa. Dia memberikan kerajaan kepada siapa yang di kehendaki-Nya, dan mencabut kerajaan dari siapa yang dikehendaki-Nya; Dia memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya dan menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya." Kemudian Nabi Ayub sujud dan Iblis tampak tercengang melihat pemandangan tersebut.
Lalu setan kembali kepada Allah SWT dan berkata: "Ya Allah, jika Ayub tidak menerima nikmat kecuali dengan mengatakan pujian, dan tidak mendapatkan musibah kecuali mendapatkan kesabaran maka hal itu sebagai bentuk usahanya karena ia mendapatkan anak. Ia mengharapkan dengan melalui mereka kekayaannya meningkat dan melalui mereka ia dapat menjalani kehidupan yang lebih mudah." Riwayat mengatakan bahwa Allah SWT membolehkan bagi setan untuk berbuat apa saja kepada anak-anak Ayub. Kemudian setan menggoncangkan rumah yang di situ anak-anaknya tinggal sehingga mereka semua terbunuh. Dalam keadaan demikian, Nabi Ayub berdialog kepada Tuhannya dan menyeru: "Allah memberi dan Allah mengambil. Maka bagi-Nya pujian saat Dia memberi dan mengambil, saat Dia murka dan ridha, saat Dia mendatangkan manfaat dan mudharat. Kemudian Ayub pun sujud dan iblis lagi-lagi tampak tercengang dan merasa malu."
Iblis kembali menemui Allah SWT dan mengatakan bahwa Ayub dapat bersabar karena badannya sehat. Seandainya Engkau memberi kekuasaan kepadaku, ya Rabbi, untuk mengganggu badannya niscaya dia akan berhenti dari kesabarannya. Riwayat mengatakan bahwa Allah SWT menginzinkan setan untuk mengganggu tubuh Ayub. Dikatakan bahwa setan memukul tubuh Nabi Ayub dari kepalanya sampai kakinya sehingga Nabi Ayub sakit kulit di mana tubuhnya membusuk dan mengeluarkan nanah, bahkan keluarganya dan sahabat-sahabatnya meninggalkannya kecuali isterinya. Namun lagi-lagi Nabi Ayub tetap bersabar dan bersyukur kepada Allah SWT. Beliau memuji-Nya pada hari-hari kesehatannya dan ia tetap memuji Allah SWT saat mendapatkan ujian sakit. Dalam dua keadaan itu, Nabi Ayub tetap bersabar dan bersyukur kepada Allah SWT.
Melihat pemandangan itu, amarah setan semakin meningkat namun ia tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya. Di sini setan mengumpulkan para penasihatnya dari pakar-pakar dan ia menceritakan tentang kisah Ayub dan meminta mereka mengeluarkan pendapat—setelah ia menyampaikan rasa putus asanya saat menggodanya atau mencoba menghilangkan sifat sabarnya dan syukurnya.
Salah seorang setan berkata: "Sungguh engkau telah mengeluarkan Adam bapak manusia dari surga, lalu darimana engkau mendatanginya? Oh, yang engkau maksud adalah Hawa?" Terbukalah di hadapan Iblis suatu ide yang baru. Lalu ia pergi ke istri Ayub dan memenuhi hatinya dengan rasa putus asa sehingga ia pergi ke Ayub dan berkata padanya: "Sampai kapan Allah SWT menyiksamu? Di mana harta, keluarga, teman dan kaum kerabat? Di mana masa jayamu dan kemuliaanmu dahulu?"
Mendengar perkataan isterinya itu, Nabi Ayub menjawab: "Sungguh engkau telah dikuasai oleh setan. Mengapa engkau menangisi kemuliaan yang telah berlalu dan anak yang telah mati?" Perempuan itu berkata: "Mengapa engkau tidak berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan cobaan darimu dan menyembuhkanmu serta menghilangkan kesedihannmu?" Nabi Ayub berkata: "Berapa lama kita merasakan kebahagiaan?" Istrinya menjawab: "Delapan tahun." Ayub berkata: "Berapa lama kita mendapat penderitaan?" Istrinya menjawab: "Tujuh tahun." Ayub berkata: "Aku malu jika aku meminta agar Allah SWT melepaskan penderitaanku ketika aku melihat masa kebahagiaanku. Sungguh imanmu tampak melemah dan keputusan Allah SWT membuat hatimu menjadi sempit. Seandainya aku sembuh dan kembali kepada kekuatanku, niscaya aku akan memukulmu dengan seratus kali pukulan dari tongkat. Sejak hari ini, aku tidak memakan dari makananmu dan dari minumanmu atau memerintahkanmu untuk melakukan suatu urusan. Maka pergilah kau dariku."
Akhirnya, isteri Nabi Ayub pergi sehingga Nabi Ayub tinggal sendirian dalam keadaan sabar menanggung penderitaanya. Penderitaan yang seandainya ditimpakan kepada gunung niscaya gunung tidak akan mampu menahannya. Kemudian Nabi Ayub berdoa kepada Allah SWT dalam keadaan penuh kasih sayang dan meminta belas kasih kepada-Nya. Beliau berdoa agar Allah SWT menyembuhkannya. Dan akhirnya, doanya dikabulkan oleh Allah SWT. Demikianlah riwayat yang populer berkenaan dengan penderitaan Nabi Ayub dan kesabarannya.
Menurut hemat kami riwayat ini palsu karena ia sesuai dengan teks Taurat yang menjelaskan sakitnya Nabi Ayub. Begitu juga kami tidak menerima jika dikatakan bahwa penyakitnya sangat buruk sekali yang menyebabkan masyarakat lari darinya sebagaimana dikatakan oleh dongeng-dongeng kuno. Bagi kami, riwayat semacam itu bertentangan dengan kedudukan kenabian. Yang perlu kita perhatikan dan perlu kita pastikan adalah apa-apa yang telah disampaikan oleh Al-Qur'an berkenaan dengan cerita Nabi Ayub. Al-Qur'an adalah kitab satu-satunya yang pasti benar yang tiada kebatilan di depan dan di belakangnya.
Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru Tuhannya: ('Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.' Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyahit yang ada padanya dan Kami kembalihan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah." (QS. al-Anbiya': 83-84)
Kita telah memahami bahwa Nabi Ayub adalah hamba yang saleh dari hamba-hamba Allah SWT. Allah SWT menginginkan untuk mengujinya dalam hartanya, keluarganya, dan badannya. Hartanya hilang sehingga ia menjadi orang fakir setelah sebelumnya ia termasuk orang yang paling kaya. Kemudian ia ditinggalkan oleh istrinya dan keluarganya sehingga ia merasakan arti kesunyian dan kesendirian lalu ia ditimpa penyakit dalam tubuhnya dan ia merasa menderita karenanya, tetapi beliau tetap sabar menghadapi semua itu dan tetap bersyukur kepada Allah SWT.
Sakit yang dideritanya cukup lama sehingga beliau menghabiskan waktu-waktu dan hari-harinya dalam keadaan sendirian bersama penyakitnya, rasa sedihnya, dan kesendiriannya. Demikianlah Nabi Ayub merasakan segi tiga penderitaan. Segi tiga penderitaan dalam hidupnya, yaitu sakit, kesedihan, dan kesendirian. Di saat beliau mendapat cobaan seperti itu, pada suatu hari datang pada beliau salah satu pemikiran setan. Pikiran itu berputar-putar di relung hatinya; pikiran itu mengatakan padanya, wahai Ayub penyakit ini dan penderitaan yang engkau rasakan oleh karena godaaan dariku. Seandainya engkau berhenti sabar dalam satu hari saja niscaya penyakitmu akan hilang darimu. Kemudian manusia-manusia berbisik-bisik dan berkata: Seandainya Allah SWT mencintainya niscaya ia tidak akan merasakan penderitaan yang begitu hebat. Demikianlah pemikiran yang jahat itu. Setan tidak mampu untuk mengganggu seseorang kecuali dengan izin Allah SWT sebagaimana Allah SWT tidak menjadikan cinta-Nya kepada manusia identik dengan kesehatan mereka. Sesungguhnya Allah SWT menguji mereka sebagaimana yang dikehendaki-Nya.
Pikiran setan itu berputar di sekitar hati Nabi Ayub seperti berputarnya lalat di musim panas di sekitar kepala manusia, namun beliau mampu menghilangkan pikiran ini dan sambil tersenyum kepada dirinya beliau berkata: "Keluarlah hai setan! Sungguh aku tidak akan berhenti bersabar, bersyukur, dan beribadah." Akhirnya, pikiran jahat itu dengan rasa putus asa keluar dari akal Nabi Ayub. Nabi Ayub duduk dalam keadaaan marah karena setan berani untuk mengganggunya. Beliau membayangkan bahwa boleh jadi setan berani menggodanya dengan memanfaatkan kesendiriannya, penderitaannya, dan penyakitnya.
Istri Nabi Ayub datang dalam keadaan terlambat dan mendapati Nabi Ayub dalam keadaan marah. Istrinya itu menutupi kepalanya dengan suatu kain tertutup. Istri Nabi Ayub menghadirkan atau menghidangkan makanan yang baik untuknya. Nabi Ayub bertanya padanya: "Dari mana engkau mendapati uang?" Nabi Ayub telah bersumpah akan memukulnya seratus kali pukulan dengan tongkat ketika beliau sembuh, tetapi kesabarannya sungguh sangat luas seperti sungai yang besar. Dan di waktu sore, setelah mengetahui kehalalan makanan yang dihidangkan, beliau pun memakannya. Kemudian Nabi Ayub keluar menuju ke gunung dan berdoa kepada Tuhannya.
Allah SWT berfirman:
"Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub ketika ia menyeru Tuhannya: 'Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.' (Allah berfirman): 'Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesugguhnya Kami mendapati dia (Ayuh) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia sangat taat (hepada Tuhannya)." (QS. Shad: 41-44)
Bagaimana kita memahami perkataan Nabi Ayub, "Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan."? Nabi Ayub ingin mengadukan kepada Tuhannya perihal keberanian setan padanya di mana setan membayangkan bahwa ia dapat mengganggunya. Nabi Ayub tidak percaya bahwa sakit yang dideritanya adalah datang karena pengaruh setan.
Demikianlah pemahaman yang sesuai dengan kemaksuman para nabi dan kesempumaan mereka. Allah SWT memerintahkan beliau untuk mandi di salah satu mata air di gunung. Allah SWT memerintahkannya agar beliau minum dari mata air ini. Kemudian Nabi Ayub melaksanakan perintah ini dan mandi serta minum. Belum lama beliau minum pada tegukan yang terakhir sehingga beliau merasakan sehat dan sembuh total dari penyakitnya. Kemudian suhu panas dalam tubuhnya pun kembali normal seperti biasanya. Allah SWT memberikan kepada Ayub dan keluarganya dan orang-orang yang seperti mereka suatu rahmat dari sisi-Nya sehingga Nabi Ayub tidak kembali sendirian. Allah SWT memberinya berlipat-lipat kekayaan dan kemuliaan dari sisi-Nya sehingga Ayub tidak menjadi fakir.
Nabi Ayub kembali mendapatkan kesehatannya setelah lama merasakan penderitaan dan sakit; Nabi Ayub bersyukur kepada Allah SWT. Beliau telah bersumpah untuk memukul istrinya sebanyak seratus pukulan dengan tongkat ketika beliau sembuh. Sekarang beliau sembuh maka Allah SWT mengetahui bahwa beliau tidak bermaksud untuk memukul istrinya. Namun agar beliau tidak sampai melanggar janjinya dan sumpahnya, Allah SWT memerintahkannya agar segera mengumpulkan seikat ranting dari bunga Raihan yang berjumlah seratus dan hendaklah beliau memukulkan itu kepada istrinya dengan sekali pukulan. Dengan demikian, beliau telah memenuhi sumpahnya dan tidak berbohong. Allah SWT membalas kesabaran Ayub dan memujinya dalam Al-Qur'an sebagaimana firman-Nya:
"Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS. Shad: 44)

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”. (Al-Baqarah: 45-46)

Minggu, 21 Februari 2010

Ruling of celebrating the birthday of the prophet

Praise be to Allaah the Lord of the Worlds, and blessings and peace be upon our Prophet Muhammad and all his family and companions.
The commands mentioned in the Qur’aan and Sunnah to follow the laws of Allaah and His Messenger, and the prohibitions on introducing innovations into the religion are quite clear. Allaah says (interpretation of the meaning):

“Say (O Muhammad to mankind): ‘If you (really) love Allaah, then follow me (i.e. accept Islamic Monotheism, follow the Qur’aan and the Sunnah), Allaah will love you and forgive you your sins’”

[Aal ‘Imraan 3:31]

“Follow what has been sent down unto you from your Lord (the Qur’aan and Prophet Muhammad’s Sunnah), and follow not any Awliyaa’ (protectors and helpers who order you to associate partners in worship with Allaah), besides Him (Allaah). Little do you remember!”

[al-A’raaf 7:3]

“And verily, this is My straight path, so follow it, and follow not (other) paths, for they will separate you away from His path”

[al-A’naam 6:153]

And the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said:
“The most truthful of speech is the Book of Allaah and the best of guidance is the guidance of Muhammad, and the most evil of things are those which are newly-invented.” And he (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “Whoever innovates anything in this matter of ours (i.e., Islam), that is not part of it will have it rejected.” (Narrated by al-Bukhaari, no. 2697; Muslim, no. 1718). According to a version narrated by Muslim, “Whoever doe anything that is not in accordance with this matter of ours (i.e., Islam), will have it rejected.”

Among the reprehensible innovations that people have invented is the celebration of the birthday of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) in the month of Rabee’ al-Awwal. They celebrate this occasion in various ways:
• Some of them simply make it an occasion to gather and read the story of the Mawlid, then they present speeches and qaseedahs (odes) for this occasion.
• Some of them make food and sweets etc., and offer them to the people present.
• Some of them hold these celebrations in the mosques, and some of them hold them in their houses.
• Some people do not limit themselves to the actions mentioned above; they include in these gatherings haraam and reprehensible things, such as free mixing of men and women, dancing and singing, or committing actions of shirk such as seeking the help of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him), calling upon him, seeking his support against their enemies and so on.


Whatever form it takes and whatever the intentions of those who do this are, there is no doubt whatsoever that it is an invented, haraam innovation which was introduced by the Shi’a Faatimids after the three best centuries, in order to corrupt the religion of the Muslims. The first person to do this after them was the king al-Muzaffar Abu Sa’eed Kawkaboori, the king of Irbil, at the end of the sixth century or the beginning of the seventh century AH, as was mentioned by the historians such as Ibn Khalkaan and others. Abu Shaamah said: the first person to do that in Mosul was Shaykh ‘Umar ibn Muhammad al-Malaa, one of the well-known righteous people. Then the ruler of Irbil and others followed his example.

Al-Haafiz Ibn Katheer said in al-Bidaayah wa’l-Nihaayah (13/137), in his biography of Abu Sa’eed Kazkaboori: “He used to observe the Mawlid in Rabee’ al-Awwal and hold a huge celebration on that occasion… some of those who were present at the feast of al-Muzaffar on some occasions of the Mawlid said that he used to offer in the feast five thousand grilled heads of sheep, ten thousand chickens and one hundred thousand large dishes, and thirty trays of sweets… he would let the Sufis sing from Zuhr until Fajr, and he himself would dance with them.”

Ibn Khalkaan said in Wafiyaat al-A’yaan (3/274): “When it is the first of Safar they decorate those domes with various kinds of fancy adornments, and in every dome there sits a group of singers and a group of puppeteers and players of musical instruments, and they do not leave any one of those domes without setting up a group (of performers) there.

The people give up work during this period, and they do no work except going around and watching the entertainment. When there are two days to go until the Mawlid, they bring out a large number of camels, cows and sheep, more than can be described, and they accompany them with all the drums, songs and musical instruments that they have, until they bring them to the square… On the night of the Mawlid there are performances of nasheed after Maghrib in the citadel.”

This is the origin of this celebration on the occasion of the Prophet’s birthday. More recently idle entertainment, extravagance, and wasting of money and time have become associated with an innovation for which Allaah has not sent down any authority.

What Muslims should do is to revive the Sunnah and put an end to bid’ah (innovation); they should not do any action until they know the ruling of Allaah concerning it.
Ruling on celebrating the Prophet’s birthday

Celebrating the occasion of the birthday of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) is forbidden and is to be rejected for a number of reasons:
1 – it is not part of the Sunnah of the Messenger (peace and blessings of Allaah be upon him) or of the khaleefahs who succeeded him. Since this is the case, then it is a forbidden innovation, because the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “I urge you to follow my Sunnah and the way of the rightly-guided khaleefahs after me; adhere to it and cling to it firmly. Beware of newly-invented things, for every newly-invented thing is an innovation (bid’ah) and every innovation is a going-astray.” (Narrated by Ahmad, 4/126; al-Tirmidhi no. 2676).

Celebrating the Mawlid is an innovation introduced by the Shi’a Faatimids after the three best centuries in order to corrupt the religion of the Muslims. If a person does anything in order to draw closer to Allaah which was not done by the Messenger (peace and blessings of Allaah be upon him) or enjoined by him, and was not done by the khaleefahs who succeeded him, this action implies that he is accusing the Messenger of not explaining the religion to the people, and that he disbelieves in the words of Allaah (interpretation of the meaning):

“This day, I have perfected your religion for you”
[al-Maa'idah 5:3]

because he is adding something extra and claiming that it is a part of the religion, but the Messenger (peace and blessings of Allaah be upon him) did not bring this.

2 – Celebrating the birthday of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) is an imitation of the Christians, because they celebrate the birth of the Messiah (peace be upon him). Imitating them is extremely haraam. The hadeeth tells us that it is forbidden to imitate the kuffaar, and we are commanded to differ from them. The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “Whoever imitates a people is one of them” (narrated by Ahmad, 2/50; Abu Dawood, 4/314). And he said, “Be different from the mushrikeen” (narrated by Muslim, 1/222, no. 259) – especially with regard to things that are the symbols or rituals of their religion.

3 – Besides being bid’ah and an imitation of the Christians, both of which are haraam, celebrating the birthday of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) is also a means that leads to exaggeration and excess in venerating him, which even goes as far as calling upon him (making du’aa’ to him) and seeking his help, instead of calling upon Allaah, as happens now among many of those who observe the bid’ah of the Mawlid, when they call upon the Messenger instead of Allaah, and ask him for support, and sing qaseedahs (odes) of shirk praising him, like Qaseedat al-Burdah etc. The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) forbade going to extremes in praising him, as he said: “Do not extol as the Christians extolled the son of Maryam. For I am just His slave, so say, the slave of Allaah and His Messenger” (narrated by al-Bukhaari, 4/142, no. 3445; al-Fath, 6/551), i.e., do not exaggerate in praising me as the Christians exaggerated in praising the Messiah and venerated him until they worshipped him instead of Allaah. Allaah forbade them to do that when he said (interpretation of the meaning):

“O people of the Scripture (Christians)! Do not exceed the limits in your religion, nor say of Allaah aught but the truth. The Messiah ‘Eesa (Jesus), son of Maryam (Mary), was (no more than) a Messenger of Allaah and His Word, (“Be!” — and he was) which He bestowed on Maryam (Mary) and a spirit (Rooh) created by Him”
[al-Nisaa’ 4:171]

Our Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) forbade us to exaggerate concerning him lest the same thing happen to us as happened to them, so he said: “Beware of exaggeration, for those who came before you were destroyed because of exaggeration” (narrated by al-Nasaa’i, 5/268; classed as saheeh by al-Albaani in Saheeh Sunan al-Nasaa’i, no. 2863).

4 – Observing the innovation of the Prophet’s birthday opens the door to other kinds of bid’ah and being distracted by them from the Sunnah. Hence you find that the innovators are very active when it comes to bid’ah and very lazy when it comes to the Sunnah; they hate it and regard those who follow it as enemies, until their entire religion is innovated anniversaries and Mawlids. They have split into various groups, each of which commemorates the anniversary of its imaam’s birth, such as the births of al-Badawi, Ibn ‘Arabi, al-Dasooqi and al-Shaadhili. No sooner do they end the celebration of one birthday but they start the celebration of another. This results in exaggeration concerning these dead people and others, and in calling upon them instead of Allaah, believing that they can bring benefit and cause harm, until they deviate from the religion of Allaah and go back to the religion of the people of the Jaahiliyyah of whom Allaah says (interpretation of the meaning):

“And they worship besides Allaah things that harm them not, nor profit them, and they say: ‘These are our intercessors with Allaah’”
[Yoonus 10:18]

“And those who take Awliyaa’ (protectors, helpers, lords, gods) besides Him (say): ‘We worship them only that they may bring us near to Allaah’”
[al-Zumar 39:3]

Discussing the specious arguments of those who celebrate the Mawlid


Those who think that this bid’ah should be continued produce specious arguments which are flimsier than a spider’s web. These specious arguments may be dealt with as follows:
1 – Their claim that this is veneration of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him):

The response to that is that the way to venerate him is to obey him, do as he commanded and avoid that which he forbade, and to love him; he is not to be venerated through innovations, myths and sins. Celebrating his birthday is of this blameworthy type because it is a sin. The people who venerated the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) the most were the Sahaabah (may Allaah be pleased with them), as ‘Urwah ibn Mas’ood said to Quraysh: “O people, by Allaah I have visited kings. I went to Caesar, Chosroes and the Negus, but by Allaah I never saw a king whose companions venerated him as much as the companions of Muhammad venerated Muhammad (peace and blessings of Allaah be upon him). By Allaah, whenever he spat it never fell on the ground, it fell into into the hand of one his companions, then they wiped their faces and skins with it. If he instructed them to do something, they would hasten to do as he commanded. When he did wudoo’, they would almost fight over his water. When he spoke they would lower their voices in his presence; and they did not stare at him out of respect for him.” (al-Bukhaari, 3/178, no. 2731, 2732; al-Fath, 5/388). Yet despite this level of veneration, they never took the day of his birth as an ‘Eid (festival). If that had been prescribed in Islam they would not have neglected to do that.

2 – Using as evidence the fact that many people in many countries do this.

The response to that is that evidence consists of that which is proven from the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him), and what is proven from the Prophet is that innovations are forbidden in general, and this is an innovation. What people do, if it goes against the evidence (daleel), does not prove anything, even if many of them do it.

“And if you obey most of those on the earth, they will mislead you far away from Allaah’s path”
[al-An’aam 6:116 – interpretation of the meaning]

Nevertheless, in every age, praise be to Allaah, there have always been those who denounce this bid’ah and state clearly that it is false. Those who persist in following it after the truth had been explained to them have no proof.

Among those who denounced the celebration of this occasion was Shaykh al-Islam Ibn Taymiyah, in Iqtidaa’ al-Siraat al-Mustaqeem; Imaam al-Shaatibi in al-‘I’tisaam; Ibn al-Haaj in al-Madkhil; Shaykh Taaj al-Deen ‘Ali ibn ‘Umar al-Lakhami who wrote an entire book denouncing it; Shaykh Muhammad Basheer al-Sahsawaani al-Hindi in his book Siyaanah al-Insaan; al-Sayyid Muhammad Rasheed Ridaa wrote a separate essay on this topic; Shaykh Muhammad ibn Ibraaheem Aal al-Shaykh wrote a separate essay on it; Shaykh ‘Abd al-‘Azeez ibn Baaz; and others who are still writing and denouncing this bid’ah every year in the pages of newspapers and magazines, at the time when this bid’ah is being done.

3 – They say that by celebrating the Mawlid they are keeping the memory of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) alive.

The answer to that is that the memory of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) is constantly kept alive by the Muslim, such as when his name (peace and blessings of Allaah be upon him) is mentioned in the adhaan and iqaamah and in khutbahs, and every time the Muslim recites the Shahaadatayn after doing wudoo’ and in the prayers, and every time he sends blessings upon the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) in his prayers and when he is mentioned, and every time the Muslim does a waajib (obligatory) or mustahabb (recommended) action that was prescribed by the Messenger (peace and blessings of Allaah be upon him). In all of these ways (the Muslim) remembers him and the reward equivalent to the reward of the one who does that action goes back to the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him). Thus the Muslim constantly keeps the memory of the Messenger alive and has a connection with him night and day throughout his life through that which Allaah has prescribed, not only on the day of the Mawlid and things which are bid’ah and go against the Sunnah, for that puts one at a distance from the Messenger (peace and blessings of Allaah be upon him) and the Messenger will disown him because of that.

The Messenger (peace and blessings of Allaah be upon him) has no need of this innovated celebration, because Allaah has already bestowed veneration and respect upon him, as He says:

“and raised high your fame”
[al-Sharh 94:4]

For Allaah is not mentioned in the adhaan, iqaamah or khutbah, but the Messenger (peace and blessings of Allaah be upon him) is mentioned after Him; this is sufficient veneration, love and renewal of his memory, ad sufficient encouragement to follow him.

Allaah did not refer to the birth of the Messenger (peace and blessings of Allaah be upon him) in the Qur’aan, rather He referred to his Mission, and says (interpretation of the meaning):

“Indeed, Allaah conferred a great favour on the believers when He sent among them a Messenger (Muhammad) from among themselves”
[Aal ‘Imraan 3:124]

“He it is Who sent among the unlettered ones a Messenger (Muhammad) from among themselves”
[al-Jumu’ah 64:2]

4 – They may say that the celebration of the Prophet’s birthday was introduced by a knowledgeable and just king who intended thereby to draw closer to Allaah.

Our response to that is that bid’ah is not acceptable, no matter who does it. A good intention does not justify a bad deed and even if a person died as a knowledgeable and righteous person, this does not mean that he was infallible.

5 – They say that celebrating the mawlid comes under the heading of bid’ah hasanah (“good innovation”) because it is based on giving thanks to Allaah for the Prophet!

Our response to that is that there is nothing good in innovation. The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “Whoever innovates anything in this matter of ours (i.e., Islam), that is not part of it will have it rejected.” (Narrated by al-Bukhaari, no. 2697; al-Fath, 5/355). And he said, “Every innovation is a going astray” (narrated by Ahmad, 4/126; al-Tirmidhi, no. 2676). The ruling on innovations is that they are all misguidance, but this specious argument suggests that not every bid’ah is a going astray, rather there are good innovations.

Al-Haafiz ibn Rajab said in Sharh al-Arba’een: “The words of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him), ‘every innovation is a going astray’ is a concise but comprehensive comment which includes everything; it is one of the most important principles of religion. It is like his words ‘Whoever innovates anything in this matter of ours (i.e., Islam), that is not part of it will have it rejected.’ (Narrated by al-Bukhaari, 3/167, no. 2697; al-Fath, 5/355). Whoever innovates anything and attributes it to Islam when it has no basis in the religion, this is a going astray and is nothing to do with Islam, whether that has to do with matters of belief (‘aqeedah) or outward and inward words and deeds.”
(Jaami’ al-‘Uloom wa’l-Hakam, p. 233)

These people have no proof that there is any such thing as a “good innovation” apart from the words of ‘Umar (may Allaah be pleased with him) concerning Taraaweeh prayers, “What a good innovation this is.” (Saheeh al-Bukhaari, 2/252, no. 2010 mu’allaqan; al-Fath 4/294).

They also said that things were innovated which were not denounced by the salaf, such as compiling the Qur’aan into one volume and writing and compiling the hadeeth.

The response to that is that these matters had a basis in Islam, so they were not newly-invented.

‘Umar said: “What a good bid’ah” meaning innovation in the linguistic sense, not in the shar’i sense. Whatever has a basis in Islam, if it is described as an innovation, is an innovation in the linguistic sense, not in the shar’i sense, because innovation in the shar’i sense means that which has no basis in Islam.

Compiling the Qur’aan into one book has a basis in Islam, because the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) had commanded that the Qur’aan be written down, but it was scattered, so the Sahaabah compiled it in one volume so as so protect and preserve it.

The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) led his companions in praying Taraaweeh for a while, then he stopped doing that, lest that become obligatory on them. The Sahaabah (may Allaah be pleased with them) continued to pray it separately during the life of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) and after his death, until ‘Umar ibn al-Khattaab (may Allaah be pleased with them) gathered them behind one imaam as they used to pray behind the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him). This was not an innovation introduced into the religion.

Writing down the hadeeth also has a basis in Islam. The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) ordered that some ahaadeeth should be written down for some of his companions when they asked him for that. In general terms writing it down during his lifetime was not allowed, for fear that the Qur’aan might be mixed with things that were not part of it. When the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) died, this fear was no longer a factor, because the Qur’aan had been completed and arranged in order before he died. The Muslims compiled the Sunnah after that in order to preserve it and keep it from being lost. May Allaah reward them with good on behalf of Islam and the Muslims, because they preserved the Book of their Lord and the Sunnah of their Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) from being lost or being tampered with.

We may also say to them: why was this act of thanksgiving, as they call it, not done by the best generations, the Sahaabah, Taabi’een and followers of the Taabi’een, who loved the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) most and who were most keen to do good and give thanks? Are those who introduced the innovation of the Mawlid more rightly-guided than them? Do they give more thanks to Allaah? Definitely not!

6 – They may say that celebrating the birthday of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) is indicative of their love for him; this is one way of showing that, and showing love of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) is prescribed in Islam!

The answer to that is that undoubtedly loving the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) is obligatory for every Muslim; he should love him more than he loves himself, his child, his father and all the people – may my father and mother be sacrificed for him – but that does not mean that we should introduce innovations for doing so that have not been prescribed for us. Loving him dictates that we should obey him and follow him, for that is one of the greatest manifestations of love, as it is said:

“If your love is sincere then obey him; for the lover obeys the one whom he loves.”

Loving the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) implies keeping his Sunnah alive, adhering firmly to it, and avoiding words and deeds that go against it. Undoubtedly everything that goes against his Sunnah is a reprehensible innovation (bid’ah) and a manifest act of disobedience. That includes celebrating his birthday and other kinds of bid’ah. A good intention does not mean that it is permissible to introduce innovations into the religion. Islam is based on two things, purity of intention and following [the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him)]. Allaah says (interpretation of the meaning):

“Yes, but whoever submits his face (himself) to Allaah (i.e. follows Allaah’s religion of Islamic Monotheism) and he is a Muhsin (a doer of good) then his reward is with his Lord (Allaah), on such shall be no fear, nor shall they grieve”
[al-Baqarah 2:112]

Submitting one’s face to Allaah means being sincere towards Allaah, and doing good means following the Messenger and implementing the Sunnah.

7 – Another of their specious arguments is when they say that by celebrating the Mawlid and reading the biography of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) on this occasion, they are encouraging people to follow his example!


We say to them that reading the biography of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) and following his example are required of the Muslim all the time, all year long and throughout his life. Singling out a specific day for that with no evidence for doing so is an innovation, and every innovation is a going astray.” (Narrated by Ahmad, 4/164; al-Tirmidhi, 2676). Bid’ah does not bear any fruit but evil and it leads to a person distancing himself from the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him).

In conclusion, celebrating the birthday of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him), whatever form it takes, is a reprehensible innovation. The Muslims should put a stop to this and other kinds of bid’ah, and occupy themselves with reviving and adhering to the Sunnah. They should not be deceived by those who promote and defend this bid’ah, for these types of people are more interested in keeping innovations alive than in reviving the Sunnah; they may not even care about the Sunnah at all. Whoever is like this, it is not permissible to imitate him or follow his example, even if the majority of people are like this. Rather we should follow the example of those who follow the path of the Sunnah, among the righteous salaf and their followers, even if they are few. Truth is not measured by the men who speak it, rather men are measured by the truth.

The Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) said: “Whoever among you lives (for a long time) will see many differences. I urge you to follow my Sunnah and the way of the rightly-guided khaleefahs who come after me. Hold on to it firmly. Beware of newly-invented matters, for every innovation is a going astray.” (Narrated by Ahmad, 4/126; al-Tirmidhi no. 2676). So the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon him) explained to us in this hadeeth what we should do when there are differences of opinion, just as he explained that everything that goes against his Sunnah, be it words or deeds, is a bid’ah, and every bid’ah is a going astray.

If we see that there is no basis for celebrating the birthday of the Prophet, whether in the Sunnah of the Messenger of Allaah (peace and blessings of Allaah be upon him) or in the way of the rightly-guided khaleefahs, then it is one of the newly-invented matters, one of the bid’ahs which lead people astray. This principle is what is implied by this hadeeth and is what is indicated by the aayah (interpretation of the meaning):

“O you who believe! Obey Allaah and obey the Messenger (Muhammad), and those of you (Muslims) who are in authority. (And) if you differ in anything amongst yourselves, refer it to Allaah and His Messenger, if you believe in Allaah and in the Last Day. That is better and more suitable for final determination”
[al-Nisaa’ 4:59]

Referring to Allaah means referring to His Book, and referring to the Messenger (peace and blessings of Allaah be upon him) means referring to his Sunnah after he has passed away. The Qur’aan and Sunnah are the reference point in cases of dispute. Where in the Qur’aan or Sunnah does it indicate that it is prescribed in Islam to celebrate the Prophet’s birthday? Whoever does that or thinks that it is good must repent to Allaah from this and from other kinds of bid’ah. This is the attitude of the Muslim who is seeking the truth. But whoever is too stubborn and arrogant after proof has been established, then his reckoning will be with his Lord.

We ask Allaah to help us adhere to His Book and the Sunnah of His Messenger until the Day when we will meet Him. May Allaah grant blessings and peace to our Prophet Muhammad and his family and companions.

Huqooq al-Nabi (peace and blessings of Allaah be upon him) bayna al-Ijlaal wa’l-Ikhlaal, p. 139

RINTIHAN DO'A

(Imam Ali Zainal Abidin Assajad)

Ya Allah,
Yang tak tersembunyi bagi-Nya apapun yang dilangit dan dibumi..

Bagaimana mungkin TERSEMBUNYI bagi-Mu, Tuhanku
Apa yang Engkau CIPTAKAN....

Bagaimana mungkin Engkau tidak MENGHITUNG
Apa yang Engkau BUAT....

Bagaimana mungkin HILANG dari-Mu
Apa yang Engkau ATUR....

Bagaiman mungkin bisa LARI dari-Mu
Orang yg tidak ada kehidupan kecuali dgn REZEKI-Mu...

Bagaimana mungkin SELAMAT dari-Mu
Orang yang tidak punya tempat lari di luar KEKUASAAN-Mu..

Mahasuci Engkau!

Orang yang paling TAKUT diantara makhluk-Mu
Adalah orang yang paling MENGENAL-Mu...

Orang yang paling MERENDAH pada-Mu
Adalah orang yang paling banyak BERAMAL mentaati-Mu

Orang yang paling HINA dihadapan-Mu...
Adalah orang Kau berikan REZEKI tapi dia MENYEMBAH selain-Mu..

Mahasuci Engkau!

Tidak mengurangi KEKUASAAN-Mu......
Orang yg MEMPERSEKUTUKAN-Mu & MENDUSTAKAN para utusan-Mu

Orang yang MEMBENCI KETENTUAN-Mu
Tidak akan mampu menolak PERINTAH-Mu....

Orang yang menolak KEKUASAAN-Mu
Tidak dapat MENGHINDAR dari-Mu....

Orang yang MENYEMBAH selain-Mu
Tidak dapat MENJAUH dari-Mu....

Orang yang MEMBENCI PERTEMUAN dengan-Mu
Tidak akan hidup ABADI di dunia.....

Mahasuci Engkau!

Alangkah agungnya kemuliaan-Mu.....
Alangkah besarnya kekuasaan-Mu....
Alangkah dahsyatnya kekuatan-Mu....
Alangkah cepatnya perintah-Mu....

Mahasuci Engkau!

Kau tentukan pada seluruh makhluk-Mu kematian
Orang yg mengesakan-Mu dan kafir kepada-Mu
Semua merasakan kematian..
Semua kembali pada-Mu...

Maha Mulia Engkau, Maha Tinggi...
Tidak Ada Tuhan Kecuali Engkau...
Esa dan Tiada sekutu bagi-Mu...

Aku beriman kepadaMu.....
Aku benarkan utusan-Mu
Aku terima kitab-Mu
Aku tolak setiap sembahan selain-Mu
Aku berlepas diri dari orang yang menyembah selainMu

Ya Allah...
Pagi dan sore aku melakukan sedikit amalku
Mengakui dosaku
Berikrar dengan kesalahanku
Dengan segala pelanggaran diriku

Aku ini hina
Amalku mencelakakanku
Hawa nafsuku membinasakanku
Keinginanku membuatku malang

Aku bermohon pada-Mu, wahai junjunganku.....
Permohonan orang yang jiwanya lalai
Karena panjang angan-angannya....

Yang badannya alpa
Karena ketenangan urat-uratnya....

Yang hatinya terpukau
Karena banyaknya nikmat atasnya....

Yang fikirannya pendek
Kepada arah kepulangannya....

Permohonan orang yang angan2 telah mengusainya
Hawa nafsu telah mencobainya...
Dunia telah mengendalikannya...
Kematian telah membayangkan...
Permohonan orang yang bertumpuk dosanya
Dan mengakui kesalahannya....
Permohonan orang tidak punya tuhan selain-Mu
Yang tidak punya pelindung kecualiMu...
Tidak ada penyelemat dari-Mu...
Tidak ada tempat bernaung dariMu kecuali kepada-Mu...

Tuhanku…..
Aku bermohon kepada-Mu
Demi hak yang Engkau wajibkan atas seluruh makhluk-Mu
Demi nama-Mu yang agung yang Kauperintahkan Rasul-Mu
Untuk bertasbih kepada-Mu
Demi kemuliaan wajah-Mu
Yang tidak pernah pudar, berubah, berganti, menghilang

Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad
Bebaskan aku dari ketergantungan kepada segala sesuatu
Dengan beribadat kepadaMu...
Palingkan perhatian jiwaku dari dunia
Dengan takut kepadaMu...
Curahkan kepadaku limpahan anugerah-Mu
Dengan kasih sayang-Mu...

Kepada-Mu aku berlari....
Kepada-Mu aku takut.....
Kepada-Mu aku berlindung....
Kepada-Mu aku berharap....
Kepada-Mu aku berdoa...
Kepada-Mu aku bernaung...
Kepada-Mu aku bersandar...
Kepada-Mu aku meminta tolong...
Kepada-Mu aku beriman....
Kepada-Mu aku bertawakkal...
Pada anugerah dan karunia-Mu...
Aku pasrah!

Keagungan Nabi Muhammad Saw 8

Manusia Agung, Namun Rendah Hati


Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”. (QS. al-Furqân: 63)

Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena mencari ridho Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barang siapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya.Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi” (HR. Al Baihaqi)

Inilah manusia Agung selalu berpihak dan sangat hormat kepada yang tua .Suka menjenguk orang yang sakit.Dan Mengasihani orang miskin.

Beliau bantu orang-orang yang lemah. Tidak segan bercengkrama & bergurau dengan anak-anak. Beliaupun suka bermain-main dengan keluarganya.

Beliau sudi berbincang dengan orang biasa yang terdapat di kalangan umat. serta rakyat jelata. Beliau bersedia duduk di atas tanah. Tidur di atas pasir, bertilamkan tanah, dan berbantalkan tikar kasar yang terbuat daripada pelapah kurma.

Beliau merasa puas dengan ketentuan Tuhannya. Beliau tidak pernah tamak terhadap kemasyhuran, kedudukan, atau jabatan yang menggiurkan atau tujuan-tujuan yang bersifat duniawi.

Beliau selalu tersenyum bila berjumpa para shahabat RA.Bila berjabatan tangan, beliau tidak hendak melepaskan sebelum sahabat itu melepaskan tangannya

Sahabat Abdurrahman Ibn Shakr yang lebih dikenal dengan Abu Hurairah r.a. bercerita: Sualu ketika aku masuk pasar bersama Rasulullah SAW. Rasulullah ber-henti, membeli celana .

Mendengar suara Rasulullah SAW, si pedagang celanapun melompat mencium tangan beliau. Rasulullah menarik tangan beliau sambil bersabda: "ltu tindakan orang-orang asing terhadap raja mereka. Aku bukan raja. Aku hanyalah laki-laki biasa seperti kamu." Kemudian, beliau ambil celana yang sudah beliau beli. Aku berniat akan membawakannya, tapi.. Beliau buru-buru bersabda: ''Pemilik barang lebih berhak membawa barangnya."


Dari 'Umar bin al-Khaththab, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda: "Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani memuji 'Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanya hamba-Nya maka katakanlah (tentang aku) hamba Allah dan Rasul-Nya." (HR. Al-Bukhari:VI/478)

Dari Sahabat Anas bin Malik ra. berkata: "Dahulu ada budak kecil perempuan dari penduduk Madinah meraih tangan Rasulullah saw. Lalu dia mengajak beliau pergi ke mana saja ia suka." (HR. Al-Bukhari:X/89, Fat-hul Baari, secara mu'alaq) dan (Muslim:XV/82-83, Syarh Muslim, Imam an-Nawawi)

Dari al-Aswad (bin Yazid), dia berkata: "Aku pernah bertanya kepada 'Aisyah: "Apakah yang biasa dilakukan Rasulullah saw. di rumahnya? 'Aisyah menjawab: 'Beliau biasa membantu keluarga; apabila mendengar suara adzan, beliau segera keluar (untuk menunaikan) shalat." (HR. Al-Bukhari:II/162 Fat-hul Baari).

Manakala seseorang melihatnya gemetar karena karismanya, maka baginda berkata: "Tenangkanlah dirimu, sebab saya adalah anak seorang perempuan biasa yang memakan daging dendeng di Mekkah."

Tidak ada seorangpun yang lebih mereka cintai daripada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Walaupun begitu, apabila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri untuk menyambut beliau. karena mereka mengetahui bahwa beliau Shalallaahu alaihi wasalam tidak menyukai cara seperti itu.” (HR. Ahmad)

Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, walaupun seberat biji sawi.” (HR. Muslim).

Dalam sebuah kesempatan sahabat Abu Dzar a-Ghifffari r.a pernah bercakap-cakap dalam waktu yang cukup lama dengan Rasulullah S.a.w. Diantara isi percakapan tersebut adalah wasiat beliau kepadanya. Berikut petikannya ;

Aku berkata kepada Nabi S.a.w, "Ya Rasulullah, berwasiatlah kepadaku." Beliau bersabda, "Aku wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, karena ia adalah pokok segala urusan." "Ya Rasulullah, tambahkanlah." pintaku.
"Hendaklah engkau senantiasa membaca Al Qur`an dan berdzikir kepada Allah azza wa jalla, karena hal itu merupakan cahaya bagimu dibumi dan simpananmu dilangit."
"Ya Rasulullah, tambahkanlah." kataku.
"Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu akan mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah."
"Lagi ya Rasulullah."
"Hendaklah engkau pergi berjihad karena jihad adalah kependetaan ummatku."
"Lagi ya Rasulullah."
"Cintailah orang-orang miskin dan bergaullah dengan mereka."
"Tambahilah lagi."
"Katakanlah yang benar walaupun pahit akibatnya."
"Tambahlah lagi untukku."
"Hendaklah engkau sampaikan kepada manusia apa yang telah engkau ketahui dan mereka belum mendapatkan apa yang engkau sampaikan. Cukup sebagai kekurangan bagimu jika engkau tidak mengetahui apa yang telah diketahui manusia dan engkau membawa sesuatu yang telah mereka dapati (ketahui)."
Kemudian beliau memukulkan tangannya kedadaku seraya bersabda,"Wahai Abu Dzar, Tidaklah ada orang yang berakal sebagaimana orang yang mau bertadabbur (berfikir), tidak ada wara` sebagaimana orang yang menahan diri (dari meminta), tidaklah disebut menghitung diri sebagaimana orang yang baik akhlaqnya."

Keagungan Nabi Muhammad Saw 7

Kekuatan Maaf Rosulullah SAW

Seorang lelaki Arab bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah Al Yamamah pergi ke Madinah dengan tujuan hendak membunuh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam. Segala persiapan telah matang, persenjataan sudah disandangnya, dan ia pun sudah masuk ke kota suci tempat Rasulullah tinggal itu. Dengan semangat meluap-luap ia mencari majlis Rasulullah, langsung didatanginya untuk melaksanakan maksud tujuannya. Tatkala Tsumamah datang, Umar bin Khattab ra. yang melihat gelagat buruk pada penampilannya menghadang. Umar bertanya, "Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?"

Dengan terang-terangan Tsumamah menjawab, "Aku datang ke negri ini hanya untuk membunuh Muhammad!".

Mendengar ucapannya, dengan sigap Umar langsung memberangusnya. Tsumamah tak sanggup melawan Umar yang perkasa, ia tak mampu mengadakan perlawanan. Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya kemudian dibawa ke masjid. Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid Umar segera melaporkan kejadian ini pada Rasulullah.

Rasulullah segera keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, kemudian berkata pada para sahabatnya, "Apakah ada di antara kalian yang sudah memberinya makan?".

Para shahabat Rasul yang ada disitu tentu saja kaget dengan pertanyaan Nabi. Umar yang sejak tadi menunggu perintah Rasulullah untuk membunuh orang ini seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari Rasulullah. Maka Umar memberanikan diri bertanya, "Makanan apa yang anda maksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh bukan ingin masuk Islam!" Namun Rasulullah tidak menghiraukan sanggahan Umar. Beliau berkata, "Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itu".

Walaupun merasa heran, Umar mematuhi perintah Rasulullah. Setelah memberi minum Tsumamah, Rasulullah dengan sopan berkata kepadanya, "Ucapkanlah Laa ilaha illa-Llah (Tiada ilah selain Allah)." Si musyrik itu menjawab dengan ketus, "Aku tidak akan mengucapkannya!". Rasulullah membujuk lagi, "Katakanlah, Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah." Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, "Aku tidak akan mengucapkannya!"

Para sahabat Rasul yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu untung itu. Tetapi Rasulullah malah membebaskan dan menyuruhnya pergi. Tsumamah yang musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang ke negrinya. Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada Rasulullah dengan wajah ramah berseri. Ia berkata, "Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muahammad Rasul Allah."

Rasulullah tersenyum dan bertanya, "Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?" Tsumamah menjawab, "Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keredhaan Allah Robbul Alamin."

Pada suatu kesempatan, Tsumamah bin Itsal berkata, "Ketika aku memasuki kota Madinah, tiada yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, tiada seorang pun di muka bumi yang lebih kucintai selain Muhammad Rasulullah."

Sahabat...........
Apakah kita pengikut ajaran beliau?
Tetapi sejauhmana kita bisa memaafkan kesalahan orang? Seberapa besar kita mencintai sesama? kalau tidak, kita perlu menanyakan kembali ikrar kita yang pernah kita ucapkan sebagai tanda kita pengikut beliau...
Sungguh, beliau adalah contoh yang sempurna sebagai seorang manusia biasa. beliau adalah Nabi terbesar, beliau juga adalah Suami yang sempurna, Bapak yang sempurna, pimpinan yang sempurna, teman dan sahabat yang sempurna, tetangga yang sempurna. maka tidak salah kalau Allah mengatakan bahwa Beliau adalah teladan yang sempurna.
Semoga Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau, junjungan dan teladan kita yang oleh Allah telah diciptakan sebagai contoh manusia yang sempurna.
Kekuatan Maaf Rosulullah SAW

Seorang lelaki Arab bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah Al Yamamah pergi ke Madinah dengan tujuan hendak membunuh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam. Segala persiapan telah matang, persenjataan sudah disandangnya, dan ia pun sudah masuk ke kota suci tempat Rasulullah tinggal itu. Dengan semangat meluap-luap ia mencari majlis Rasulullah, langsung didatanginya untuk melaksanakan maksud tujuannya. Tatkala Tsumamah datang, Umar bin Khattab ra. yang melihat gelagat buruk pada penampilannya menghadang. Umar bertanya, "Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?"

Dengan terang-terangan Tsumamah menjawab, "Aku datang ke negri ini hanya untuk membunuh Muhammad!".

Mendengar ucapannya, dengan sigap Umar langsung memberangusnya. Tsumamah tak sanggup melawan Umar yang perkasa, ia tak mampu mengadakan perlawanan. Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya kemudian dibawa ke masjid. Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid Umar segera melaporkan kejadian ini pada Rasulullah.

Rasulullah segera keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, kemudian berkata pada para sahabatnya, "Apakah ada di antara kalian yang sudah memberinya makan?".

Para shahabat Rasul yang ada disitu tentu saja kaget dengan pertanyaan Nabi. Umar yang sejak tadi menunggu perintah Rasulullah untuk membunuh orang ini seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari Rasulullah. Maka Umar memberanikan diri bertanya, "Makanan apa yang anda maksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh bukan ingin masuk Islam!" Namun Rasulullah tidak menghiraukan sanggahan Umar. Beliau berkata, "Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itu".

Walaupun merasa heran, Umar mematuhi perintah Rasulullah. Setelah memberi minum Tsumamah, Rasulullah dengan sopan berkata kepadanya, "Ucapkanlah Laa ilaha illa-Llah (Tiada ilah selain Allah)." Si musyrik itu menjawab dengan ketus, "Aku tidak akan mengucapkannya!". Rasulullah membujuk lagi, "Katakanlah, Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah." Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, "Aku tidak akan mengucapkannya!"

Para sahabat Rasul yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu untung itu. Tetapi Rasulullah malah membebaskan dan menyuruhnya pergi. Tsumamah yang musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang ke negrinya. Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada Rasulullah dengan wajah ramah berseri. Ia berkata, "Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muahammad Rasul Allah."

Rasulullah tersenyum dan bertanya, "Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?" Tsumamah menjawab, "Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keredhaan Allah Robbul Alamin."

Pada suatu kesempatan, Tsumamah bin Itsal berkata, "Ketika aku memasuki kota Madinah, tiada yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, tiada seorang pun di muka bumi yang lebih kucintai selain Muhammad Rasulullah."

Sahabat...........
Apakah kita pengikut ajaran beliau?
Tetapi sejauhmana kita bisa memaafkan kesalahan orang? Seberapa besar kita mencintai sesama? kalau tidak, kita perlu menanyakan kembali ikrar kita yang pernah kita ucapkan sebagai tanda kita pengikut beliau...
Sungguh, beliau adalah contoh yang sempurna sebagai seorang manusia biasa. beliau adalah Nabi terbesar, beliau juga adalah Suami yang sempurna, Bapak yang sempurna, pimpinan yang sempurna, teman dan sahabat yang sempurna, tetangga yang sempurna. maka tidak salah kalau Allah mengatakan bahwa Beliau adalah teladan yang sempurna.
Semoga Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau, junjungan dan teladan kita yang oleh Allah telah diciptakan sebagai contoh manusia yang sempurna.

Detik – detik akhir sebagai duka seluruh alam

Pagi itu, walaupun langit telah mulai
menguning, burung2 gurun enggan mengepakkan sayapnya.
Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbatas memberikan
khutbah, " Wahai ummatku, kita semua ada dalam
kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan
bertaqwalah kepadaNya.

Kuwariskan dua perkara pada kalian;
Al-Quran dan Sunnahku.

Barang siapa mencintai
sunnahku, bererti mencintai aku dan kelak oran-orang
yang mencintaiku, akan masuk ke dalam syurga
bersama-sama ku."

Khutbah singkat diakhiri dengan
pandangan mata Rasulullah yang tenang dan penuh minat
menatap sahabatnya satu-persatu.
Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca,

Umar dadanya naik turun menahan nafas dan tangisnya. Usman
menghelakan nafas panjang dan Ali menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang ,
saatnya sudah tiba.

"Rasullullah akan meninggalkan kita semua," keluh hati semua sahabat kala itu.Manusia tercinta itu,
hampir selesai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat,tatkala Ali dan Fadhal dengan cergas menangkap
Rasulullah yang dalam keadaan lemah dan goyah ketika
turun dari mimbar.

Di saat itu, kalau mampu, seluruh
sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan
detik-detik yang berlalu. Matahari kian tinggi, tapi
pintu rumah Rasulullah masih tertutup.

Sedang didalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan
keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma
yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?"
tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,
"Maafkanlah, ayahku sedang demam." Kata Fatimah yang
membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata
sudah membuka mata dan bertanya kepada Fatimah,
"Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku,
orang sepertinya baru sekali ini melihatnya." Tutur
Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu
dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah
bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak
dikenang.

"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan
kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan
di dunia. Dialah malakul maut." Kata Rasulullah.
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri , tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya . kemudian
dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap sedia
di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan
penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?"
Tanya Rasulullah dengan suara yang amat lemah. "
Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah
menanti ruhmu.

Semua syurga terbuka lebar menanti kedatangan mu." Kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar khabar
ini?"tanya Jinril lagi.

"Khabarkan kepada ku bagaimana
nasib umatku kelak?" "Jangan khuwatir, wahai
Rasulullah, aku pernah mendengar Allah berfirman
kepadaku: "kuharamkan syurga bagi sesiapa saja,
kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata
Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan
tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh
tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya
menegang.

"Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali
yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril
memalingkn muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau
palingkn wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada
Malaikat pengantar wahyu itu. " Siapakah yang sanggup,
melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.
Sebentar kemudian, terdengar Rasulullah memekik,

kerana sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah,
dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua seksa maut
ini kepadaku, jangan pada umatku."

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan
sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "
Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum"-
"Peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah
di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan,
sahabat saling berpelukkan. Fatimah menutupkan tangan
diwajahnya dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke
bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii,
ummatii, ummatii"- "Umatku, umatku, umatku".

Dan berakhirlah hidup seorang manusia yang mulia yang
memberi sinaran itu.

Begitu Cintanya Rasulullah kepada kita (umatnya) sampai disebutnya Kita menjelang akhir hayatnya..maka sudah layak kita mencintainya Rasulullah.
Menjelang Mulid buat teman-teman yuk memperbanyak sholawat..
Mudah-mudahan kita semua mendapatkan Syafaatnya

Cinta Sebuah Jiwa

Pada suatu ketika, terdapat sepasang kekasih yang berniat meminta izin utk melakukan pertunangan. Mereka, lelaki dan perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya.

Melalui ta'aruf yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk
melanjutkannya menuju khitbah.

Sang lelaki, sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain: ayah sang
perempuan.

Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru
pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang
sekarang amatlah berbeda.

Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka
menggenapkan agamanya.

Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang
lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk 'merebut'
sang perempuan muda, dari sisinya.

"Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?" tanya sang setengah baya.

"Iya, Pak," jawab sang muda.

"Engkau telah mengenalnya dalam-dalam? " tanya sang setengah baya sambil
menunjuk si perempuan.

"Ya Pak, sangat mengenalnya, " jawab sang muda, mencoba meyakinkan.

"Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak
bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model
seperti itu!" balas sang setengah baya.

Si pemuda tergagap, "Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal
sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu."

"Lamaranmu kutolak. Itu serasa 'membeli kucing dalam karung' kan, aku
tak mau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya.

Jangan-jangan kau nggak tahu aku ini siapa?" balas sang setengah baya,
keras.

Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang lelaki
muda. Bisiknya, "Ayah, dia dulu aktivis lho."

"Kamu dulu aktivis ya?" tanya sang setengah baya.

"Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di
Kampus," jawab sang muda, percaya diri.

"Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama
istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo
rumahku ini kan?"

"Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak
yang nggak datang kalau saya suruh berangkat."

"Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok
mau ngatur keluargamu?"

Sang perempuan membisik lagi, membantu, "Ayah, dia pinter lho."

"Kamu lulusan mana?"

"Saya lulusan Teknik Elektro UGM Pak. UGM itu salah satu kampus terbaik
di Indonesia lho Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini
tho? Menganggap saya bodoh kan?"

"Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya
saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak."

"Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik
anak-anakmu kelak?"

Bisikan itu datang lagi, "Ayah dia sudah bekerja lho."

"Jadi kamu sudah bekerja?"

"Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera
jualan produk saya Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu
nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu."

"Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak
terlalu laku."

"Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau
kerja saja nggak becus begitu?"

Bisikan kembali, "Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya."

"Rencananya maharmu apa?"

"Seperangkat alat shalat Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf."

"Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan
uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku."

Bisikan, "Dia jago IT lho Pak"

"Kamu bisa apa itu..., internet?"

"Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya
nge-net."

"Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan anggaran
untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata."

"Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak."

"Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter,
Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu."

Bisikan, "Tapi Ayah..."

"Kamu kesini tadi naik apa?"

"Mobil Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya
Riya'. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik."

"Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir"

"Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini
namanya payah. Memangnya anakku supir?"

Bisikan, "Ayahh...."

"Kamu merasa ganteng ya?"

"Nggak Pak. Biasa saja kok"

"Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang
cantik ini."

"Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak."

"Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal
selingkuh!"

Sang perempuan kini berkaca-kaca, "Ayah, tak bisakah engkau tanyakan
soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?"

Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang
muda yang sudah menyerah pasrah.

"Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur'an dan Hadits?"

Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga.

Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya, "Pak, dari tiga puluh
juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja.

Hadits-pun cuma dari Arba'in yang terpendek pula."

Sang setengah baya tersenyum, "Lamaranmu kuterima anak muda. Itu cukup.
Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja pun, aku
masih tertatih."

Mata sang muda ikut berkaca-kaca.