Kamis, 06 Mei 2010

Dampak Globalisasi pada Kehidupan

Sungguh, hari ini kita hidup di sebuah bola dunia yang sedemikian sempit. Beragam peristiwa, di belahan bumi lain, dengan mudah kita ketahui. Bahkan, dalam detik yang sama. Bumi menjadi begitu dekat. Tiada jarak signifikan yang memisahkan satu negeri dari negeri lain, satu wilayah dari wilayah lain. Seolah dunia adalah satu dan padu. Sekat-sekat teritori, kini, menjadi maya. Tak mampu menjadi batas perkasa pembeda sebuah bangsa.

Mengapa demikian? Globalisasi jawabnya. Itulah kata sakti yang kerap digunakan untuk menggambarkan fenomena transparan yang telah, sedang, dan akan terus berlangsung di planet bumi ini. Globalisasi adalah kata yang sangat lekat dengan kehidupan manusia. Sebuah keniscayaan karena sifatnya yang senantiasa mengikut sunatullah. Tidak pernah berubah.

"Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan penggantian bagi sunah Allah, dan sekali-kali tidak pula akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu." (QS 35 [Fathir]: 43). Ada banyak hal positif yang didapat dari proses globalisasi ini. Karena itu, patut untuk disyukuri.

Namun, di sisi lain, bukan berarti globalisasi tidak memiliki dampak negatif bagi hidup dan kehidupan penduduk bumi. Sangat nyata ketika globalisasi dipersepsi sebagai westernisasi, ketimpangan, dan deskripsi eksistensi manusia menjadi rapuh. Upaya mem-'barat'-kan semua penjuru bumi menjadi persoalan bagi kemanusiaan.

Bila demikian, satu hal mendasar yang pasti akan terjadi adalah hilangnya identitas dan jati diri. Rasulullah SAW pernah mengingatkan, "Akan datang suatu masa pada perjalanan hidup manusia, di mana perhatiannya melulu tertuju pada urusan perut. Kemuliaan mereka hanyalah diukur dengan benda (materi) semata. Kiblat mereka adalah wanita. Agama mereka adalah emas dan perak. Sungguh, mereka itu makhluk Allah yang paling buruk, tiada bernilai di sisi Allah." (HR Imam Dailami).

Lantas, bagaimana kita menghadapi gelombang negatif globalisasi yang tak bisa dihentikan ini? Perkuat identitas diri dan negeri. Itulah caranya meski terkesan paradoks. Bahkan, Tun Mahathir Mohammad, mantan perdana menteri Malaysia, pernah mengatakan bahwa untuk menghadapi globalisasi kita harus memperkuat nasionalisme. Identitas diri sebagai bangsa.

Kita baru punya nilai dan identitas, kalau kita merupakan bagian dari sebuah keterhubungan dengan Yang Mahakuasa, kemudian kita betul-betul bisa menjadi pemakmur bumi, dan kita berani berperang untuk mempertahankan kedua hal tersebut. Berperang itu dalam arti luas, seperti ghazwul fikri dan muamalah.

Marilah kita berupaya sekuat daya untuk menjadikan diri dan negeri kita terus memiliki jati diri. Bangga dengan kepribadian yang ada. Tidak terperangkap oleh kata modern sebagai topeng westernisasi.

Dalam Islam seseorang tidak diperintahkan untuk mematikan kecenderungan hawa nafsunya sepanjang dalam memenuhinya masih dalam aturan yang benar menurut Allah SWT.
Tidak salah kalau seseorang ingin kaya, punya ambisi kedudukan, jabatan dan lain-lain sepanjang bisa ditempuh dengan jalan yang diridhai-Nya. Yang tidak dimungkinkan dalam Islam adalah, bila dalam memenuhi keinginannya ia tempuh dengan menghalalkan segala macam cara dengan melanggar aturan dan hukum-Nya.

Ada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ummu Salmah, istri Rasulullah SAW, tentang bagaimana keimanan itu bisa mengendalikan ego seseorang. Dikisahkan ada dua orang laki-laki, mereka bertengkar memperebutkan harta waris, masing-masing tidak memiliki bukti kepemilikan harta yang diperebutkan itu. Lantas keduanya menghadap Rasulullah SAW untuk meminta keputusan Beliau.
Rasulullah SAW kepada mereka berdua menyatakan: Saya ini hanyalah seorang manusia, sementara kalian mencoba meminta penyelesaian proses hukum ini kepada saya, padahal boleh jadi seseorang di antara kalian akan mampu dengan dalil-dalil dan pendekatannya meyakinkan kepada saya bahwa dialah yang paling benar, sehingga saya bisa memutuskan bahwa itu milik dia, padahal itu belum tentu benar. Kalau itu yang terjadi maka berarti saya telah memberikan kepada dia peluang untuk menyiapkan bara api neraka jahnnam sepenuh perut dia. "Mereka yang memakan harta anak yatim dengan cara yang zalim maka sama dengan dia telah menyiapkan bara api sepenuh perutnya" (An Nissa', 4 : 10).
Mendengar pernyataan Rasulullah SAW ini, maka kedua laki-laki tadi kemudian masing-masing mengatakan kepada yang lain, kalau memang itu adalah hak saya, maka saya ikhlas untukmu, silakan ambil. Yang satu seperti itu yang lain pun demikian. Akhirnya mereka sama-sama tidak mau mengambil haknya. (HR. Sunan Abu Daud).

Seperti inilah jika keimanan yang menjadi pijakan hidup seseorang. Ada kisah lain yang serupa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi SAW pernah mengisahkan kepada para sahabat tentang dua orang mu'min yang satu menjual tanah kepada yang lain. Usai proses pembelian, si pembeli kembali lagi dengan membawa satu kotak peti berisi emas dengan mengatakan; Setelah saya membeli tanah kebetulan saya menggali tanah itu kutemukan satu kotak peti berisi Emas. Karena saya hanya membeli dan membayar harga tanah, berarti tidak termasuk emas yang ada di dalam peti ini. Maka dari itu saya kembalikan kotak peti berisi emas ini.

Si penjual tanah tidak mau menerima dengan mengatakan, saya sudah menjual tanah dengan segala yang ada di dalamnya. Akhirnya, keduanya sepakat untuk menemui seseorang untuk meminta keputusan. Maka berkatalah orang yang dipercayakan oleh kedua orang itu, adakah kalian berdua punya anak ? Yang satu menyatakan, saya punya anak laki-laki. Yang satunya lagi, saya punya anak perem-puan. Lebih lanjut, seseorang yang dipercaya itu mengatakan, kalau begitu nikahkan saja anak kalian berdua dan emas itu untuk modal anak kalian berdua. Maka barulah keduanya sepakat.
Alangkah luar biasa dampak keimanan dalam mengendalikan egoisme manusia. Dan alangkah indahnya hidup dan kehidupan ini jika masing-masing manusia memiliki keimanan yang kuat sehingga dia mampu mengendalikan kecenderungan “ego” yang ada dalam dirinya sekaligus mementahkan bisikan Iblis yang menyesatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar