Seusai salam sholat jum'at di Masjid Jami di salah satu Universitas Islam, daerah Ciputat, para jama'ah diminta kesediaan untuk mensholatkan jenazah. Jenazah diminta dibawa masuk ke dalam masjid dan ditempatkan di depan. Ketika berdiri dan mencari shof lebih di depan yang telah ditinggalkan jama'ah yang tidak ikut sholat jenasah, badanku terasa bergetar, "Ya Allah, aku iri dengan jenasah ini. Engkau buat ia meninggal di hari Jum'at sehingga ia dapat disholatkan oleh jama'ah sebanyak ini", seruku dalam hati.
Nama jenasah ini Bapak Ramdhan, apa amal almarhum yang membuat ia dapat kemudahan seperti ini? Wah, iri aku jadinya.
Tetapi setelah itu, aku mencoba kembali berpikir setelahnya. Kita boleh iri terhadap berapa hal, pertama iri kepada orang berilmu yang mengamalkan dan mau membagi ilmunya, kemudian orang kaya yang dermawan, dan iri pada orang miskin yang sabar dan mau berderma.
Entah amal apa yang membuat Pak Ramdhan ini dapat keberuntungan seperti ini. Mungkin tidak amal besar yang dihandalkan Pak Ramdhan, tapi mungkin amal kecil yang dikerjakan dengan tulus dan konsisten.
Aku jadi teringat, beberapa minggu yang lalu ketika aku berangkat ke Gorontalo, bertemu dua orang yang berbeda profesi dan bertolak belakang persepsi serta kebiasaannya.
Pertama seorang bapak yang gaji per bulannya diatas dua puluh dua juta rupiah menjabat sebagai direksi di multinational corporate di Gorontalo, dan satunya seorang bapak yang gajinya hanya lima ratus ribu yang menjadi guru madrasah ibtidayah di desa Kembang Lor, Gorontalo.
Bapak Guru sudah naik haji, sedangkan Bapak Direksi belum naik haji.
ketika bertanya kepada bapak direksi, "Bagaimana saya akan naik haji? Sekarang ini pengeluaran saya sangat banyak, dan ditambah lagi kesibukan saya saat ini", jelas Bapak Direksi. Jika mengetahui rincian pengeluarannya memang sangat luar biasa, contohnya biaya listrik rumahnya saja perbulan dua juta rupiah.
Sebaliknya Bapak Guru, "Saya naik haji karena menabung setiap bulannya dua ratus ribu rupiah".
Aku terperanjat mendengarnya karena tidak mungkin secara logika seseorang yang sudah berkeluarga dengan gaji lima ratus ribu rupiah bisa menabung dua ratus ribu rupiah.
"Saya seorang guru, terkadang orang tua murid membayar sekolah atau mengirimi kami bahan makanan atau makanan sudah jadi, hal itu sering terjadi sehingga kami bisa menghemat", urainya tentang bagaimana dia bisa menabung.
kemudian, Bapak Guru mendapatkannya, ”Tugas saya sederhana, memberikan yang terbaik dalam mendidik setiap murid saya".
Aku semakin paham perbedaan dua bapak di atas setelah semalam menonton acaranya Mario Teguh. Ada kutipan di layar TV yang tertulis "Jika orang mencari kebahagiaan, maka kebahagiaan ada di luar dirinya. Tapi jika orang mensyukuri kebahagiaan maka kebahagiaan itu sudah ada dalam dirinya".
Bapak Direksi melihat hidup adalah BEBAN sehingga ia BEKERJA KERAS terus untuk MENGATASInya.
Sedang Bapak Guru melihat hidup adalah WUJUD TANGGUNG JAWAB-nya sehingga ia berusaha MEMBERI yang TERBAIK, akibatnya dia memberi dengan TULUS dan MENIKMATI hidupnya.
Apa amal dan cara hidup Pak Ramdhan mirip dengan Bapak Guru? Entahlah, tugasku sebagai sesama muslim mensholatkan, maka sesudah mensholatkan aku ikut mengangkat kerandanya ke mobil ambulan.
Semoga Allah SWT menemukan kami di Jannatun Na’im. Amin.
Jakarta, 22 Januari 2010.
11.01. pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar