Pisau kecil sepanjang 30 cm yang berlumuran darah itu masih digenggamannya, wajahnya seram jantungnya berdetak kencang hingga tak seorangpun berani mendekat, ya… ia Sang Pembunuh yang telah merenggut 99 nyawa orang. Ia terus berjalan dengan pandangan kosong kedepan namun ternyata hati kecilnya bicara “ aku ingin tobat, masihkan Allah menerimaku di sisiNYA ? “ itulah pertanyaan yang terus ia ulang-ulang tanpa seorangpun mendengarnya.
Akhirnya sang Pembunuh ini memutuskan untuk curhat kepada Sang Ulama dan bercerita tentang masa lalunya yang kelabu itu. Ia mengutarakan maksudnya untuk bertaubat dan menjadi orang yang lebih baik. iapun bertanya, “ Aku ingin tahu, apakah Allah masih mau mengampuniku??
Sang Ulama ini rupanya belum cukup banyak belajar. Ia menjawab, “ Mana mungkin, kamu sudah sejahat itu akan diampuni, nerakalah yang pantas buat orang seperti kamu “. “ Kalau begitu, lebih baik kau juga kubunuh saja sekalian” . ujar si Pembunuh, Ia pun membunuh Ulama itu. Kemudian ia berjalan dan menemui Ulama yang lain. Ia mengatakan telah membunuh seratus orang. “ Aku ingin tahu, apakah Allah akan mengampuniku jika aku bertaubat? tanyanya,
Ulama kedua ini lebih bijak dari yang pertama. Ia menjawab, “ Tentu saja kau akan diampuni. Bertaubatlah sekarang juga. Aku hanya punya satu nasihat untukmu; jauhilah teman-temanmu yang suka bermaksiat dan bergabunglah dengan orang-orang yang saleh, karena teman yang suka maksiat itu akan mendekatkan kamu kepada dosa dan neraka “.
Orang itu lalu bertaubat dan menyesali dosa-dosanya. Ia menangis memohon ampunan Tuhan. Kemudian ia pun HIJRAH menjauhi teman-temannya yang suka maksiat dan pergi mencari perkampungan tempat orang-orang saleh tinggal. Namun ketika ia berada di perjalanan, ajalnya tiba.
Malik, Malaikat Penjaga Neraka, dan Ridwan, Malaikat Penjaga Surga, sama-sama datang untuk menjemput ruhnya. Malik berkata bahwa orang itu adalah pendosa besar dan tempatnya di neraka jahanam. Tetapi Ridwan juga mengklaim bahwa orang itu layak masuk surga. Malaikat Ridwan berkata, Orang ini bertaubat dan telah memutuskan untuk menjadi orang baik. Ia sedang menempuh perjalanan ke kampung tempat tinggal orang-orang saleh ketika ajalnya tiba.
Kedua malaikat itu pun berdebat. Jibril datang untuk menyelesaikan masalah. Setelah mendengar pernyataan dari kedua malaikat, Jibril memutuskan, Ukur jaraknya. Jika tanah tempat mayatnya berada lebih dekat kepada orang-orang saleh, maka ia masuk surga; namun jika letak mayatnya lebih dekat kepada orang-orang jahat, ia harus masuk neraka.
Karena mantan Pembunuh itu baru saja meninggalkan tempat kemaksiatan, ia masih terletak dekat sekali dengan tempat itu. Tetapi karena ia bertaubat dengan amat tulus, Tuhan memindahkan tubuhnya dari tempat ia meninggal ke dekat perkampungan orang saleh. Dan hamba yang bertaubat itu pun diserahkan ke dekapan malaikat penjaga surga.
Allah Berfirman dalam Hadits Qudsi “ Jika hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku satu hasta, Aku akan mendekatkan diri kepadanya satu depa. Apabila dia kembali kepada-Ku sambil berjalan Aku akan menyambutnya sambil berlari .“
sebesar apapun dosa dan maksiat yang pernah kita lakukan, Allah masih senantiasa membuka pintu taubat dan pintu SorgaNYA ketika kita benar-benar menyesali diri dan berjanji untuk menghidar dan tidak akan melakukan kebiasaan maksiat kita.
Seberapa nikmat dan bahagianya ketika kita melakukan maksiat? mengapa tidak kita coba anggaran kemaksiatan itu kita alokasikan untuk kegiatan MEMBERI & MEMBAHAGIAKAN anak istri kita, keluarga kita dan orang-orang disekitar kita yang kurang beruntung kehidupannya? kita akan merasakan kenikmatan dan kebahagiaan yang luar biasa, pasti !. lalu seberapa lama sih kita mampu melakukan maksiat itu? setahun, 5 tahun, atau seumur hidup? Tahukah kita berapa lama kita masih diberi kesempatan hidup? jangan-jangan besok atau lusa kita sudah dead ? ah betapa rugi dan celaknya kita kalo itu terjadi.
Sahabat, ternyata kegiatan MEMBUNUH itu tidak hanya menghabisi nyawa orang, kita sering kali membunuh tanpa sadar, kita sangat hafal dengan pepatah “ Lidah itu lebih tajam daripada Pedang “ yang selaras dengan ayat “ Fitnah itu lebih kejam daripada Pembunuhan.“
Dengan lidah kita seringkali tanpa sadar kita telah MEMBUNUH KARAKTER anak-anak kita sendiri, anak asuh dan anak didik kita dan orang-orang disekitar kita yang menurut kita bisa menjadi pesaing kesuksesan kita. Dengan caci makian, fitnahan, gosib, adu domba dan cibiran yang membuat seseorang terbunuh karakter dan psikologinya, orang tersebut menjadi pesimis, stagnan, stress kehilangan pekerjaan dan jabatannya bahkan terjerumus ke dunia hitam yang mendekatkan dirinya kepada kematian yang sesungguhnya.
Bukan hanya itu Sistem pun bisa menjadi alat pembunuh yang sangat dahsyat, Sistem Pendidikan Formal kita telah membunuh Intelektual, Kompetensi dan Kejujuran anak-anak kita, Sistem Birokrasi? Sistem Ekonomi?, Sistem Politik?, Sistem Perbankan? duh rasanya gak perlu kita bicarakan karena sangat menyakitkan dan bisa jadi akan membunuh kita, lebih baik kita perbaiki Keyakinan kita akan kemahakuasaan Allah SWT yang mampu membalik kegelapan menjadi terang benderang, lebih baik kita perbaiki kesadaran kita bahwa kita akan meninggalkan dunia yang sementara ini menuju sebuah kehidupan yang lebih indah dan luar biasa nikmatnya yang harus kita perjuangan dengan segala potensi yang telah kita peroleh selama numpang dan ngemper di dunia ini.
"Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa". "(yaitu) orang-orang yang menginfakan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan." (Ali Imron : 133-134)
So… jangan pernah berhenti mengabadikan yang tersisa, karena bisa jadi yang tersisa itulah yang akan menyelamatkan dan mengantar kita ke sebuah ISTANA SORGA yang penuh dengan segala kenikmatan, amin.
Semoga bermanfaat&kita bisa mengambil hikmahnya.
Bandung, 14 Mei 2011; 01.35 am.
Dicky Supriatna
Cerita Inspirasi, Motivasi, dan Perenungan Diri,Gambar
Jumat, 13 Mei 2011
Selasa, 01 Juni 2010
Sebuah Catatan TEMAN
Di suatu daerah hiduplah seorang anak dalam keluarga yang bahagia bersama dengan orang tua dan sanak saudaranya. Dan dia selalu menganggap itu sesuatu yang wajar saja.
Dia bisa bebas bermain, mengganggu adik dan kakaknya, dan membuat masalah bagi orang lain adalah kesukaannya. Ketika menyadari kesalahannya dan mau minta maaf, dia selalu berkata, “Tidak apa-apa, besok kan bisa”.
Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Semua itu begitu saja dijalaninya sehingga dia merasa bahwa hal itu memang sudah sewajarnya.
Suatu hari, dia berkelahi dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi tidak pernah mengambil inisiatif untuk meminta maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya, “Tidak apa-apa, besok kan bisa”.
Ketika dia agak besar lagi, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun dia masih sering melihat temannya itu tapi itu bukanlah masalah karena dia masih punya banyak teman baik yang lainnya. Dia dan teman-temannya melakukan segala sesuatu bersama-sama, bermain, mengerjakan PR, dan jalan-jalan. Ya, mereka semua teman-teman yang paling baik.
Setelah lulus, kerja membuatnya sibuk. Dia bertemu dengan seorang cewek yang sangat cantik dan baik. Cewek ini kemudian menjadi pacarnya.
Dia begitu terhanyut dengan pekerjaannya karena dia ingin dipromosikan ke posisi paling tinggi dalam waktu yang sesingkat mingkin. Tentu, dia rindu untuk bertemu teman-temannya tapi dia tidak pernah lagi menghubungi mereka, sekalipun hanya melalui telepon. Dia selalu berkata, “Ah, aku capek, besok saja aku menghubungi mereka”. Ini tidak terlalu mengganggu dia karena dia punya teman-teman sekerja yang selalu mau diajak keluar. Jadi waktupun berlalu, dan dia lupa sama sekali untuk menelpon teman-temannya.
Setelah dia menikah dan punya anak, dia bekerja lebih keras lagi agar dapat membahagiakan keluarganya. Begitu sibuknya dia sehingga dia bahkan tidak pernah lagi ada waktu untuk membeli bunga atau hadiah lain untuk istrinya ataupun mengingat hari ulang tahun istrinya dan juga hari pernikahan mereka. Itu tidak menjadi masalah baginya karena istrinya selalu mengerti dia dan tidak pernah menyalahkannya.
Tentu, kadang-kadang dia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan tapi dia tidak pernah sungguh-sungguh mengupayakannya. Alasannya, “Tidak apa-apa, besok saya pasti masih bisa melakukannya” .. Dia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya, dan dia tidak tahu bahwa ini akan berpengaruh terhadap perkembangan anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya dan tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan ayahnya.
Suatu hari, kemalangan datang ketika istrinya tewas dalam kecelakaan, istrinya ditabrak lari. Ketika kejadian itu terjadi, dia sedang mengikuti rapat. Dia tidak sadar bahwa itu adalah kecelakaan yang fatal dan dia baru tiba di rumah sakit saat istrinya sudah hampir dijemput maut. Dan sebelum dia sempat berkata, “Aku cinta kamu”, istrinya telah meninggal dunia.
Laki-laki itu remuk hatinya dan mencoba menghibur diri dengan mendekatkan diri kepada anak-anaknya setelah kematian istrinya, tapi dia baru sadar bahwa anak-anaknya tidak mau (tidak terbiasa) berkomunikasi dengannya.
Segera, anak-anaknya tumbuh dewasa dan membangun keluarga mereka masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan orang tua ini, yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktu untuk mereka.
Saat mulai renta, dia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik. Dia menggunakan uang yang semula disimpannya untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke 50, 60 dan 70.
Semula uang itu akan dipakainya untuk pergi ke Hawaii, New Zealand dan negara-negara lainnya bersama istrinya tapi kini dipakainya untuk membayar biaya tinggal di rumah jompo tersebut. Sejak itu sampai dia meninggal, dia hanya ditemani oleh orang-orang tua sesama penghuni panti dan suster yang merawatnya.
Kini dia merasa sangat kesepian, perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Saat mau meninggal, dia memanggil seorang suster dan berkata kepadanya, “Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu……” Kemudian perlahan-lahan ia menghembuskan napas terakhir, dan dia meninggal dunia dengan air mata dipipinya.
Apa yang saya ingin coba katakan pada anda, waktu itu tidak pernah berhenti. Anda terus maju dan maju, dan sebelum benar-benar menyadari, anda ternyata telah maju terlalu jauh. Jika anda pernah bertengkar, segeralah berbaikan dan jika kamu merasa ingin mendengar suara temanmu, jangan ragu-ragu untuk meneleponnya segera.
Terakhir… tapi ini yang paling penting, jika kamu merasa ingin mengatakan kepada seseorang bahwa kamu menyayangi dia, jangan tunggu sampai terlambat. Jika kamu terus berpikir bahwa masih ada hari esok untuk memberitahu, sadarlah bahwa mungkin hari tersebut tidak akan datang. Jika kamu selalu berpikir bahwa besok akan datang, maka “besok” akan pergi dengan begitu cepatnya hingga kamu baru menyadarinya ketika kesempatan itu telah meninggalkanmu.
Dia bisa bebas bermain, mengganggu adik dan kakaknya, dan membuat masalah bagi orang lain adalah kesukaannya. Ketika menyadari kesalahannya dan mau minta maaf, dia selalu berkata, “Tidak apa-apa, besok kan bisa”.
Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Semua itu begitu saja dijalaninya sehingga dia merasa bahwa hal itu memang sudah sewajarnya.
Suatu hari, dia berkelahi dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi tidak pernah mengambil inisiatif untuk meminta maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya, “Tidak apa-apa, besok kan bisa”.
Ketika dia agak besar lagi, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun dia masih sering melihat temannya itu tapi itu bukanlah masalah karena dia masih punya banyak teman baik yang lainnya. Dia dan teman-temannya melakukan segala sesuatu bersama-sama, bermain, mengerjakan PR, dan jalan-jalan. Ya, mereka semua teman-teman yang paling baik.
Setelah lulus, kerja membuatnya sibuk. Dia bertemu dengan seorang cewek yang sangat cantik dan baik. Cewek ini kemudian menjadi pacarnya.
Dia begitu terhanyut dengan pekerjaannya karena dia ingin dipromosikan ke posisi paling tinggi dalam waktu yang sesingkat mingkin. Tentu, dia rindu untuk bertemu teman-temannya tapi dia tidak pernah lagi menghubungi mereka, sekalipun hanya melalui telepon. Dia selalu berkata, “Ah, aku capek, besok saja aku menghubungi mereka”. Ini tidak terlalu mengganggu dia karena dia punya teman-teman sekerja yang selalu mau diajak keluar. Jadi waktupun berlalu, dan dia lupa sama sekali untuk menelpon teman-temannya.
Setelah dia menikah dan punya anak, dia bekerja lebih keras lagi agar dapat membahagiakan keluarganya. Begitu sibuknya dia sehingga dia bahkan tidak pernah lagi ada waktu untuk membeli bunga atau hadiah lain untuk istrinya ataupun mengingat hari ulang tahun istrinya dan juga hari pernikahan mereka. Itu tidak menjadi masalah baginya karena istrinya selalu mengerti dia dan tidak pernah menyalahkannya.
Tentu, kadang-kadang dia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan tapi dia tidak pernah sungguh-sungguh mengupayakannya. Alasannya, “Tidak apa-apa, besok saya pasti masih bisa melakukannya” .. Dia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya, dan dia tidak tahu bahwa ini akan berpengaruh terhadap perkembangan anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya dan tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan ayahnya.
Suatu hari, kemalangan datang ketika istrinya tewas dalam kecelakaan, istrinya ditabrak lari. Ketika kejadian itu terjadi, dia sedang mengikuti rapat. Dia tidak sadar bahwa itu adalah kecelakaan yang fatal dan dia baru tiba di rumah sakit saat istrinya sudah hampir dijemput maut. Dan sebelum dia sempat berkata, “Aku cinta kamu”, istrinya telah meninggal dunia.
Laki-laki itu remuk hatinya dan mencoba menghibur diri dengan mendekatkan diri kepada anak-anaknya setelah kematian istrinya, tapi dia baru sadar bahwa anak-anaknya tidak mau (tidak terbiasa) berkomunikasi dengannya.
Segera, anak-anaknya tumbuh dewasa dan membangun keluarga mereka masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan orang tua ini, yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktu untuk mereka.
Saat mulai renta, dia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik. Dia menggunakan uang yang semula disimpannya untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke 50, 60 dan 70.
Semula uang itu akan dipakainya untuk pergi ke Hawaii, New Zealand dan negara-negara lainnya bersama istrinya tapi kini dipakainya untuk membayar biaya tinggal di rumah jompo tersebut. Sejak itu sampai dia meninggal, dia hanya ditemani oleh orang-orang tua sesama penghuni panti dan suster yang merawatnya.
Kini dia merasa sangat kesepian, perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Saat mau meninggal, dia memanggil seorang suster dan berkata kepadanya, “Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu……” Kemudian perlahan-lahan ia menghembuskan napas terakhir, dan dia meninggal dunia dengan air mata dipipinya.
Apa yang saya ingin coba katakan pada anda, waktu itu tidak pernah berhenti. Anda terus maju dan maju, dan sebelum benar-benar menyadari, anda ternyata telah maju terlalu jauh. Jika anda pernah bertengkar, segeralah berbaikan dan jika kamu merasa ingin mendengar suara temanmu, jangan ragu-ragu untuk meneleponnya segera.
Terakhir… tapi ini yang paling penting, jika kamu merasa ingin mengatakan kepada seseorang bahwa kamu menyayangi dia, jangan tunggu sampai terlambat. Jika kamu terus berpikir bahwa masih ada hari esok untuk memberitahu, sadarlah bahwa mungkin hari tersebut tidak akan datang. Jika kamu selalu berpikir bahwa besok akan datang, maka “besok” akan pergi dengan begitu cepatnya hingga kamu baru menyadarinya ketika kesempatan itu telah meninggalkanmu.
Kebahagiaan ada dimana – mana
Suatu ketika, terdapat seorang pemuda di tepian telaga. Ia tampak termenung. Tatapan matanya kosong, menatap hamparan air di depannya. Seluruh penjuru mata angin telah di lewatinya, namun tak ada satupun titik yang membuatnya puas. Kekosongan makin senyap, sampai ada suara yang menyapanya. Ada orang lain disana. “Sedang apa kau disini anak muda?” tanya seseorang. Rupanya ada seorang kakek tua. “Apa yang kau risaukan..?” Anak muda itu menoleh ke samping, “Aku lelah Pak Tua. Telah berkilo-kilo jarak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak juga kutemukan rasa itu dalam diriku.
Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemana kah aku harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu?” Kakek Tua duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. Di pandangnya wajah lelah di depannya. Lalu, ia mulai bicara, “di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku. Mereka berpandangan. “Ya…tangkaplah seekor kupu-kupu buatku dengan tanganmu” sang Kakek mengulang kalimatnya lagi. Perlahan pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tak berapa lama, dijumpainya taman itu.
Taman yang yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang berterbangan disana. Sang kakek, melihat dari kejauhan, memperhatikan tingkah yang diperbuat pemuda yang sedang gelisah itu. Anak muda itu mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! sasaran itu luput. Di kejarnya kupu-kupu itu ke arah lain. Ia tak mau kehilangan buruan. Namun lagi-lagi. Hap!. Ia gagal.
Ia mulai berlari tak beraturan. Diterjangnya sana-sini. Ditabraknya rerumputan dan tanaman untuk mendapatkan kupu-kupu itu. Diterobosnya semak dan perdu di sana. Gerakannya semakin liar. Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat ditangkap. Sang pemuda mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik-turun dengan cepat. Sampai akhirnya ada teriakan, “Hentikan dulu anak muda. Istirahatlah. ” Tampak sang Kakek yang berjalan perlahan. Tapi lihatlah, ada sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sisi kanan-kiri kakek itu. Mereka terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu.
“Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa yang kau rusak?” Sang Kakek menatap pemuda itu. “Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu.”
“Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kau genggam, atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari kemana-mana. Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri.” Kakek Tua itu mengangkat tangannya.
Hap, tiba-tiba, tampak seekor kupu-kupu yang hinggap di ujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu-kupu itu, memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya. Mencari kebahagiaan adalah layaknya menangkap kupu-kupu. Sulit, bagi mereka yang terlalu bernafsu, namun mudah, bagi mereka yang tahu apa yang mereka cari. Kita mungkin dapat mencarinya dengan menerjang sana-sini, menabrak sana-sini, atau menerobos sana-sini untuk mendapatkannya.
Kita dapat saja mengejarnya dengan berlari kencang, ke seluruh penjuru arah. Kita pun dapat meraihnya dengan bernafsu, seperti menangkap buruan yang dapat kita santap setelah mendapatkannya. Namun kita belajar. Kita belajar bahwa kebahagiaan tak bisa di dapat dengan cara-cara seperti itu.
Kita belajar bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang dapat di genggam atau benda yang dapat disimpan. Bahagia adalah udara, dan kebahagiaan adalah aroma dari udara itu. Kita belajar bahwa bahagia itu memang ada dalam hati. Semakin kita mengejarnya, semakin pula kebahagiaan itu akan pergi dari kita. Semakin kita berusaha meraihnya, semakin pula kebahagiaan itu akan menjauh. Cobalah temukan kebahagiaan itu dalam hatimu. Biarkanlah rasa itu menetap, dan abadi dalam hati kita. Temukanlah kebahagiaan itu dalam setiap langkah yang kita lakukan.
Dalam bekerja, dalam belajar, dalam menjalani hidup kita. Dalam sedih, dalam gembira, dalam sunyi dan dalam riuh. Temukanlah bahagia itu, dengan perlahan, dalam tenang, dalam ketulusan hati kita. Percayalah, kebahagiaan itu ada dimana-mana. Rasa itu ada di sekitar kita. Bahkan mungkin, bahagia itu “hinggap” di hati kita, namun kita tak pernah memperdulikannya. Mungkin juga, bahagia itu berterbangan di sekeliling kita, namun kita terlalu acuh untuk menikmatinya.
Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemana kah aku harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu?” Kakek Tua duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. Di pandangnya wajah lelah di depannya. Lalu, ia mulai bicara, “di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku. Mereka berpandangan. “Ya…tangkaplah seekor kupu-kupu buatku dengan tanganmu” sang Kakek mengulang kalimatnya lagi. Perlahan pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tak berapa lama, dijumpainya taman itu.
Taman yang yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang berterbangan disana. Sang kakek, melihat dari kejauhan, memperhatikan tingkah yang diperbuat pemuda yang sedang gelisah itu. Anak muda itu mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! sasaran itu luput. Di kejarnya kupu-kupu itu ke arah lain. Ia tak mau kehilangan buruan. Namun lagi-lagi. Hap!. Ia gagal.
Ia mulai berlari tak beraturan. Diterjangnya sana-sini. Ditabraknya rerumputan dan tanaman untuk mendapatkan kupu-kupu itu. Diterobosnya semak dan perdu di sana. Gerakannya semakin liar. Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat ditangkap. Sang pemuda mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik-turun dengan cepat. Sampai akhirnya ada teriakan, “Hentikan dulu anak muda. Istirahatlah. ” Tampak sang Kakek yang berjalan perlahan. Tapi lihatlah, ada sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sisi kanan-kiri kakek itu. Mereka terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu.
“Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa yang kau rusak?” Sang Kakek menatap pemuda itu. “Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu.”
“Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kau genggam, atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari kemana-mana. Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri.” Kakek Tua itu mengangkat tangannya.
Hap, tiba-tiba, tampak seekor kupu-kupu yang hinggap di ujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu-kupu itu, memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya. Mencari kebahagiaan adalah layaknya menangkap kupu-kupu. Sulit, bagi mereka yang terlalu bernafsu, namun mudah, bagi mereka yang tahu apa yang mereka cari. Kita mungkin dapat mencarinya dengan menerjang sana-sini, menabrak sana-sini, atau menerobos sana-sini untuk mendapatkannya.
Kita dapat saja mengejarnya dengan berlari kencang, ke seluruh penjuru arah. Kita pun dapat meraihnya dengan bernafsu, seperti menangkap buruan yang dapat kita santap setelah mendapatkannya. Namun kita belajar. Kita belajar bahwa kebahagiaan tak bisa di dapat dengan cara-cara seperti itu.
Kita belajar bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang dapat di genggam atau benda yang dapat disimpan. Bahagia adalah udara, dan kebahagiaan adalah aroma dari udara itu. Kita belajar bahwa bahagia itu memang ada dalam hati. Semakin kita mengejarnya, semakin pula kebahagiaan itu akan pergi dari kita. Semakin kita berusaha meraihnya, semakin pula kebahagiaan itu akan menjauh. Cobalah temukan kebahagiaan itu dalam hatimu. Biarkanlah rasa itu menetap, dan abadi dalam hati kita. Temukanlah kebahagiaan itu dalam setiap langkah yang kita lakukan.
Dalam bekerja, dalam belajar, dalam menjalani hidup kita. Dalam sedih, dalam gembira, dalam sunyi dan dalam riuh. Temukanlah bahagia itu, dengan perlahan, dalam tenang, dalam ketulusan hati kita. Percayalah, kebahagiaan itu ada dimana-mana. Rasa itu ada di sekitar kita. Bahkan mungkin, bahagia itu “hinggap” di hati kita, namun kita tak pernah memperdulikannya. Mungkin juga, bahagia itu berterbangan di sekeliling kita, namun kita terlalu acuh untuk menikmatinya.
Minggu, 23 Mei 2010
Misteri Hari Esok
Hari esok adalah misteri dan tak seorang manusiapun yang bisa mengetahuinya. Orang kita jumpai pada hari ini dalam keadaan segar bugar bisa jadi keesokan harinya sudah terbujur kaku di sebuah peti mati. Bukankah hal yang seperti ini sering kita lihat? Kemarin kita masih ngobrol panjang lebar, tetapi hari ini kita menerima sepucuk surat pemberitahuan kematian dan waktu penguburannya. Tak perlu terkejut, sebab itulah kehidupan.
Melihat pengetahuan manusia yang terus berkembang, rasanya kita dibuat semakin kagum saja. Penemuan-penemuan mutakhir abad ini menunjukkan bahwa semakin hari semakin hebat saja pengetahuan manusia. Mulai dari alat-alat medis yang memungkinkan mencangkok ginjal, sistem komputer nan canggih, penjelajahan ke ruang angkasa yang sepertinya mustahil dan masih banyak lagi. Tetapi sehebat-hebatnya manusia menciptakan berbagai penemuan mutakhir, mereka tetap saja tak bisa memecahkan misteri hari esok. Kalau sudah berbicara tentang hari esok, maka pengetahuan yang tinggi itu tiba-tiba merosot sampai ke titik nol.
Kita boleh jadi orang yang sangat jenius dan brilian dalam segala hal, namun tetap saja kita tak tahu apa yang akan terjadi di hari esok. Hari esok adalah misteri ilahi dan tak ada seorang manusia yang bisa memahami dan memprediksikannya dengan pasti.
Karena kita tidak tahu apa yang terjadi di hari esok, sungguh bijaksana kalau kita menyerahkan hidup kita kepada Tuhan yang empunya hari esok. Kita tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi pada hari esok, tapi kita bisa mempersiapkannya. Dan isilah rencana hari esok dengan perbuatan-2 mulia sebagai rasa syukur kita masih diberika kesempatan oleh-NYA untuk terus berkarya.
Melihat pengetahuan manusia yang terus berkembang, rasanya kita dibuat semakin kagum saja. Penemuan-penemuan mutakhir abad ini menunjukkan bahwa semakin hari semakin hebat saja pengetahuan manusia. Mulai dari alat-alat medis yang memungkinkan mencangkok ginjal, sistem komputer nan canggih, penjelajahan ke ruang angkasa yang sepertinya mustahil dan masih banyak lagi. Tetapi sehebat-hebatnya manusia menciptakan berbagai penemuan mutakhir, mereka tetap saja tak bisa memecahkan misteri hari esok. Kalau sudah berbicara tentang hari esok, maka pengetahuan yang tinggi itu tiba-tiba merosot sampai ke titik nol.
Kita boleh jadi orang yang sangat jenius dan brilian dalam segala hal, namun tetap saja kita tak tahu apa yang akan terjadi di hari esok. Hari esok adalah misteri ilahi dan tak ada seorang manusia yang bisa memahami dan memprediksikannya dengan pasti.
Karena kita tidak tahu apa yang terjadi di hari esok, sungguh bijaksana kalau kita menyerahkan hidup kita kepada Tuhan yang empunya hari esok. Kita tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi pada hari esok, tapi kita bisa mempersiapkannya. Dan isilah rencana hari esok dengan perbuatan-2 mulia sebagai rasa syukur kita masih diberika kesempatan oleh-NYA untuk terus berkarya.
Minggu, 16 Mei 2010
Fokus Pada Solusi Bukan Pada Masalah
Nicolo Paganini adalah seorang pemain biola classic. Setiap pertunjukan yang digelarnya selalu dihadiri ratusan orang dan tiket yang dijual pun pasti habis. Paganini memang luar biasa. Bila biola sudah dimainkan, siapapun yang mendengar pastilah akan hanyut dalam setiap petikan dawainya. Bila dia memainkan musik bertema bahagia, maka bahagialah perasaan mereka yang mendengarnya hingga dunia terasa indah. Bagitu juga bila dia memainkan musik bertema kesedihan, maka sedihlah mereka yang mendengarnya hingga tanpa terasa meneteskan air mata. Kalau ada musisi yang selalu dibicarakan, itu tidak lain pastilah Nicolo Paganini Sang Pemain Biola.
Suatu hari, Paganini berencana untuk mengadakan sebuah pertunjukan. Lain dengan sebelumnya, kali ini dia akan mengadakan pertunjukkan yang akan menghebohkan seantero Italia. Pertunjukan paling berkesan yang takkan dilupakan oleh masyarakat Italia hingga puluhan bahkan ratusan tahun ke depan.
Untuk hal tersebut, Paganini menyiapkan segala-galanya. Dia tidak ingin pertunjukan termegahnya itu tampil mengecewakan. Berbagai pilihan lagu yang berkualitas dicari dan dikumpulkannya. Tak lupa pula segera berita pertunjukan tersebut disebarkan ke seluruh penjuru Italia. Dengan demikian dalam waktu singkat saja, orang-orang sudah membicarakan seperti apa nanti kira-kira pertunjukan yang akan digelar oleh Paganini.
Hari H pun tiba. Seluruh tiket yang ada sudah habis terjual sejak tiga hari sebelumnya. Harganya, tentu 2x lipat dari harga pertunjukan biasa karena ini adalah pertunjukan terhebatnya. Para audience pun tak peduli meski mereka tidak mendapatkan tempat duduk (karena penuhnya). Mereka hanya ingin mendengar alunan dawai biola Sang Paganini.
Pertunjukan dimulai. Untuk malam itu, Paganini menyiapkan 10 lagu terbaiknya. Dia yakin malam itu akan menjadi malam yang tidak terlupakan. Satu demi satu lagu yang telah dipersiapkan sebelumnya dia mainkan. Suasana tribun silih berganti. Kadang penuh dengan senyum kebahagiaan. Kadang penuh dengan isak tangis para penonton. Ini semua tergantung tema musik yang dimainkan oleh Paganini. Semua berjalan lancar pada awalnya.
Ketika Paganini memainkan lagu ke-10, tiba-tiba saja musibah itu terjadi. Satu dawainya tiba-tiba putus. Pertanda apakah ini? Seluruh penonton pun berdiri dan memberikan tepuk tangan. Mereka menyerukan kepada Paganini bahwa mereka mengerti dan akan menunggu Paganini untuk mengganti dawai biolanya terlebih dahulu. Namun apa yang terjadi? Paganini berkata melalui microphonenya, “Paganini dengan 3 dawai biola.” Dia pun memainkan lagu ke-10 tersebut dengan 3 dawai saja.
Lagi-lagi kesialan itu datang. Dawainya kembali putus hingga tersisa 2 buah saja. Namun tetap saja Paganini hanya berkata, “Paganini dengan 2 dawai biola.” Dan dia pun memainkannya dengan dua dawai biola yang tersisa. Penonton pun semakin larut dalam permainannya yang sungguh menggugah hati.
Hingga… Tus…, putuslah dawai ketiga. Kini hanya tersisa satu dawai saja. “Petaka apa ini?”, pikir Paganini. Reaksi penonton kali ini terdiam. Mereka memberikan tepukan tangan perlahan. Mereka terus memberikan segenap dukungan pada Paganini sembari menyerukannya untuk mengganti biolanya. Mereka memaklumi itu semua. Namun, apa reaksi Paganini?
Dia hanya berdoa dalam hati dan berkata, “Paganini dengan 1 dawai biola.” Dia tahu itu sulit. Tapi dia terus meyakinkan dirinya bahwa Paganini akan menampilkan pertunjukan yang takkan terlupakan. Dia fokus pada tujuan akhirnya, konser yang sukses. Dengan susah payah, dia mencoba menemukan permainannya yang bisa terdengar indah hanya dengan 1 dawai. Dia tidak fokus pada masalah putusnya 3 dawai.
Luar biasa… ibarat sebuah keajaiban, permainannya menjadi sangat indah. Permainan yang bahkan lebih bagus dan memberikan kesan mendalam dibandingkan dengan 9 lagu sebelumnya. Dan pertunjukan itu dia tutup dengan manisnya sembari mengucapkan terima kasih pada penonton yang selalu mendukungkan. Banjir air mata dan suara tepuk tangan pun tak terelakkan lagi.
Maka semenjak pertunjukan termegah malam itu, tak pernah ada musik yang dibicarakan selain permainan Sang Pemain Biola 1 Dawai… Siapa lagi kalau bukan Nicolo Paganini.
Nah, sepengal kisah hidup Paganini Sang Pemain Biola 1 Dawai sudah saya sharingkan. Sekarang waktunya kita bedah pelajaran apa yang bisa diambil di dalamnya.
Ketika memainkan biolanya, dawai Paganini putus satu persatu. Itu tentu merupakan sebuah masalah. Namun, lihatlah bagaimana Paganini bersikap. Dia tidak peduli dengan masalah itu. Paganini tidak memfokuskan dirinya pada masalah. Dia memilih untuk bersikap tenang dan fokus bagaimana solusi pemecahan dari masalahnya. Sekali lagi bukan pada masalah, tapi fokus pada solusi.
Paganini bisa melakukan itu semua karena dia memiliki sebuah keyakinan yang mendalam serta visi yang begitu berakar di dalam hatinya. Visinya adalah menjadikan pertunjukan malam itu menjadi pertunjukkan yang tidak akan terlupakan sepanjang masa dan dia yakin pasti bisa mewujudkannya.
Ngomong-ngomong, kalau kita senantiasa fokus pada solusi ketika masalah datang, maka kita memberikan kesempatan pada otak kita (khususnya sisi kreatifitas) untuk bekerja dan mencari jalan keluarnya. Kalau ini sering dilakukan maka sama artinya kita melatih otak untuk kreatif dan inovatif.
Sebaliknya, manakala kita fokus pada masalah yang ada, maka kita menutup jalan otak kita untuk bisa berpikir dan berkembang. Ujung-ujungnya, hanya mengeluh dan selalu merasa tidak pernah ada jalan keluar untuk masalah ini. Kalau Anda tertarik mempelajari hal ini lebih dalam, silahkan baca buku “MANAGE YOUR MIND FOR SUCCESS” karangan Adi W. Gunawan.
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat.
Suatu hari, Paganini berencana untuk mengadakan sebuah pertunjukan. Lain dengan sebelumnya, kali ini dia akan mengadakan pertunjukkan yang akan menghebohkan seantero Italia. Pertunjukan paling berkesan yang takkan dilupakan oleh masyarakat Italia hingga puluhan bahkan ratusan tahun ke depan.
Untuk hal tersebut, Paganini menyiapkan segala-galanya. Dia tidak ingin pertunjukan termegahnya itu tampil mengecewakan. Berbagai pilihan lagu yang berkualitas dicari dan dikumpulkannya. Tak lupa pula segera berita pertunjukan tersebut disebarkan ke seluruh penjuru Italia. Dengan demikian dalam waktu singkat saja, orang-orang sudah membicarakan seperti apa nanti kira-kira pertunjukan yang akan digelar oleh Paganini.
Hari H pun tiba. Seluruh tiket yang ada sudah habis terjual sejak tiga hari sebelumnya. Harganya, tentu 2x lipat dari harga pertunjukan biasa karena ini adalah pertunjukan terhebatnya. Para audience pun tak peduli meski mereka tidak mendapatkan tempat duduk (karena penuhnya). Mereka hanya ingin mendengar alunan dawai biola Sang Paganini.
Pertunjukan dimulai. Untuk malam itu, Paganini menyiapkan 10 lagu terbaiknya. Dia yakin malam itu akan menjadi malam yang tidak terlupakan. Satu demi satu lagu yang telah dipersiapkan sebelumnya dia mainkan. Suasana tribun silih berganti. Kadang penuh dengan senyum kebahagiaan. Kadang penuh dengan isak tangis para penonton. Ini semua tergantung tema musik yang dimainkan oleh Paganini. Semua berjalan lancar pada awalnya.
Ketika Paganini memainkan lagu ke-10, tiba-tiba saja musibah itu terjadi. Satu dawainya tiba-tiba putus. Pertanda apakah ini? Seluruh penonton pun berdiri dan memberikan tepuk tangan. Mereka menyerukan kepada Paganini bahwa mereka mengerti dan akan menunggu Paganini untuk mengganti dawai biolanya terlebih dahulu. Namun apa yang terjadi? Paganini berkata melalui microphonenya, “Paganini dengan 3 dawai biola.” Dia pun memainkan lagu ke-10 tersebut dengan 3 dawai saja.
Lagi-lagi kesialan itu datang. Dawainya kembali putus hingga tersisa 2 buah saja. Namun tetap saja Paganini hanya berkata, “Paganini dengan 2 dawai biola.” Dan dia pun memainkannya dengan dua dawai biola yang tersisa. Penonton pun semakin larut dalam permainannya yang sungguh menggugah hati.
Hingga… Tus…, putuslah dawai ketiga. Kini hanya tersisa satu dawai saja. “Petaka apa ini?”, pikir Paganini. Reaksi penonton kali ini terdiam. Mereka memberikan tepukan tangan perlahan. Mereka terus memberikan segenap dukungan pada Paganini sembari menyerukannya untuk mengganti biolanya. Mereka memaklumi itu semua. Namun, apa reaksi Paganini?
Dia hanya berdoa dalam hati dan berkata, “Paganini dengan 1 dawai biola.” Dia tahu itu sulit. Tapi dia terus meyakinkan dirinya bahwa Paganini akan menampilkan pertunjukan yang takkan terlupakan. Dia fokus pada tujuan akhirnya, konser yang sukses. Dengan susah payah, dia mencoba menemukan permainannya yang bisa terdengar indah hanya dengan 1 dawai. Dia tidak fokus pada masalah putusnya 3 dawai.
Luar biasa… ibarat sebuah keajaiban, permainannya menjadi sangat indah. Permainan yang bahkan lebih bagus dan memberikan kesan mendalam dibandingkan dengan 9 lagu sebelumnya. Dan pertunjukan itu dia tutup dengan manisnya sembari mengucapkan terima kasih pada penonton yang selalu mendukungkan. Banjir air mata dan suara tepuk tangan pun tak terelakkan lagi.
Maka semenjak pertunjukan termegah malam itu, tak pernah ada musik yang dibicarakan selain permainan Sang Pemain Biola 1 Dawai… Siapa lagi kalau bukan Nicolo Paganini.
Nah, sepengal kisah hidup Paganini Sang Pemain Biola 1 Dawai sudah saya sharingkan. Sekarang waktunya kita bedah pelajaran apa yang bisa diambil di dalamnya.
Ketika memainkan biolanya, dawai Paganini putus satu persatu. Itu tentu merupakan sebuah masalah. Namun, lihatlah bagaimana Paganini bersikap. Dia tidak peduli dengan masalah itu. Paganini tidak memfokuskan dirinya pada masalah. Dia memilih untuk bersikap tenang dan fokus bagaimana solusi pemecahan dari masalahnya. Sekali lagi bukan pada masalah, tapi fokus pada solusi.
Paganini bisa melakukan itu semua karena dia memiliki sebuah keyakinan yang mendalam serta visi yang begitu berakar di dalam hatinya. Visinya adalah menjadikan pertunjukan malam itu menjadi pertunjukkan yang tidak akan terlupakan sepanjang masa dan dia yakin pasti bisa mewujudkannya.
Ngomong-ngomong, kalau kita senantiasa fokus pada solusi ketika masalah datang, maka kita memberikan kesempatan pada otak kita (khususnya sisi kreatifitas) untuk bekerja dan mencari jalan keluarnya. Kalau ini sering dilakukan maka sama artinya kita melatih otak untuk kreatif dan inovatif.
Sebaliknya, manakala kita fokus pada masalah yang ada, maka kita menutup jalan otak kita untuk bisa berpikir dan berkembang. Ujung-ujungnya, hanya mengeluh dan selalu merasa tidak pernah ada jalan keluar untuk masalah ini. Kalau Anda tertarik mempelajari hal ini lebih dalam, silahkan baca buku “MANAGE YOUR MIND FOR SUCCESS” karangan Adi W. Gunawan.
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat.
PECUT KEMANDIRIAN
"Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari , maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah. " (HR. Ahmad)
Sahabat seringkali kita memandang sebelah mata sebuah pekerjaan yang membutuhkan peras keringat, lelah fisik dengan resiko yang tinggi. Pedagang-pedagang keliling, Kaki Lima, Tukang Sapu, Nelayan, Petani, Penggembala, Asongan. Apalagi kalau status kita adalah seorang sarjana atau anak orang ternama atau mantan pejabat tinggi, pensiunan pegawai negeri, mungkinkah kita sanggup melakoninya ?
Kenapa tidak ? padahal Allah dan Rasulnya memberi penghargaan yang sangat tinggi untuk mereka yang siap memeras keringat, banting tulang, berkutat dalam lelah dan dahaga untuk mencari nafkah bagi keluarga dan Agamanya.
Suatu hari menjelang Hari Raya Qurban saya kedatangan salah seorang santri saya. Dengan santunnya dia menjabat tangan saya dan berkata “ Ustad Saya jualan kambing, mohon do’anya agar cepat laku dan habis “, jawab saya “ Insya Allah, tapi beritahukan dulu semua panitia Qurban disekitarmu jangan sampai ada yang gak tau kamu jualan kambing Qurban, segera tunaikan panggilan Allah jangan ditunda2 dan Bangunlah Malam Hari untuk Sholat Tahajjud lalu berdo’alah : Ya Allah Engaku Yang Maha Kaya, hanya Engkaulah yang pasti mampu membeli seluruh kambing yang saya jual, hanya Engkau harapanku satu-satunya “. Pada hari H – 2, dia datang lagi kepada saya melaporkan “ Alhamdulillah Ustadz, kambing saya tinggal dua ekor yang kecil “. Saat ini santri saya tersebut rutin berjualan kambing tiap Idul Qurban dan Buka Bengkel Servis Spring Bed, dikaruniai seorang anak mampu beli rumah dan mobil pick up
Sahabat sering kali kita dalam berdagang selalu mengedepankan Penampilan, letak yang strategis, kecanggihan sistem dan manajemen tetapi sering melupakan FAKTOR PENENTU yaitu ALLAH SWT, sejauhmana ketergantungan kita kepada kemahaanNYA ? sejauhmana sistem dan aturanNYA kita implementasikan ?
Ada dua orang dengan panggilan yang sama, yaitu Abah Komar. Yang satu tinggal di sekitar Cikampek berusaha 81 tahun. Dan yang satu lagi adalah tetangga saya di Cimahi dengan usia yang sepertinya tidak jauh dari 80-an. Keduanya sudah tua, namun keduanya memberikan inspirasi bagi saya.
Abah Komar yang di Cikampek, dengan usia setua itu masih berkeliling setiap hari dengan jalan kaki untuk menjajakan jasanya. Rata-rata setiap hari menempuh jarak sampai 20 km. Bukan jarak yang dekat bagi saya, apalagi bagi seorang kakek seusia 81 tahun ini. Jarak yang luar biasa jauh, yang menguras tenaga.
Mengapa Abah Komar melakukan ini? Satu alasan terucap dari mulutnya, yaitu tidak mau merepotkan anak dan cucu. Luar biasa, sebuah keinginan untuk tetap mandiri meski usia sudah senja. Padahal, sudah cukup alasan untuk menggantungkan hidup kepada anak dan cucu.
Sungguh malu, jika ada orang yang masih muda dan kuat tetapi tidak berusaha untuk mandiri. Masih menggantungkan hidup kepada orang lain, mudah menyerah, mengeluh, dan begitu mudah mengatakan sulit. Abah Komar, menempuh jarak 20 km per hari dengan penghasilan Rp 30.000 per hari, demi sebuah kemandirian.
Sementara Abah Komar tetangga saya juga luar biasa. Yang pertama si Abah (begitu saya memanggilnya) hampir tidak pernah absen untuk shalat shubuh di Masjid, bahkan beliaulah yang mengumandangkan adzan subuh dan menjadi iman untuk segelintir makmum yang jarang sekali anak mudanya.
Untuk hal mencari nafkah pun tidak kalah hebatnya. Dengan tubuh yang mungil dan sudah termakan usia, namun tidak kalah gesit dengan anak mudah saat bekerja sebagai kuli bangunan. Mendorong beban yang berat, memasang batu bata, dan berbagai pekerjaan yang menguras tanaga lainnya.
Terima kasih abah Komar (keduanya) yang telah memberikan inspirasi kepada saya agar tidak mudah menyerah. Yang telah memberi semangat menjadi pribadi yang mandiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Memberi contoh untuk memberikan kontribusi kepada orang lain. Semoga saya bisa meneladaninya.
Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seseorang itu makan makanan lebih baik dari hasil kerja tangannya sendiri. Karena sesungguhnya nabi Daud as senantiasa makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” ( H.R Bukhari )
Dalam kesempatan lain Nabi bertemu dengan seorang sahabat, Sa'ad al-Anshari yang memperlihatkan tangannya yang melepuhkarena kerja keras. Nabi bertanya, "mengapa tanganmu hitam, kasar dan melepuh?" Sa'ad menjawab, "tangan ini kupergunakan untuk mencari nafkah bagi keluargaku." Nabi yang mulia berkata, "ini tangan yang dicintai Allah," seraya mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh itu. Bayangkanlah, Nabi yang tangannya selalu berebut untuk dicium oleh para sahabat, kini
mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh.
Sahabat seringkali kita memandang sebelah mata sebuah pekerjaan yang membutuhkan peras keringat, lelah fisik dengan resiko yang tinggi. Pedagang-pedagang keliling, Kaki Lima, Tukang Sapu, Nelayan, Petani, Penggembala, Asongan. Apalagi kalau status kita adalah seorang sarjana atau anak orang ternama atau mantan pejabat tinggi, pensiunan pegawai negeri, mungkinkah kita sanggup melakoninya ?
Kenapa tidak ? padahal Allah dan Rasulnya memberi penghargaan yang sangat tinggi untuk mereka yang siap memeras keringat, banting tulang, berkutat dalam lelah dan dahaga untuk mencari nafkah bagi keluarga dan Agamanya.
Suatu hari menjelang Hari Raya Qurban saya kedatangan salah seorang santri saya. Dengan santunnya dia menjabat tangan saya dan berkata “ Ustad Saya jualan kambing, mohon do’anya agar cepat laku dan habis “, jawab saya “ Insya Allah, tapi beritahukan dulu semua panitia Qurban disekitarmu jangan sampai ada yang gak tau kamu jualan kambing Qurban, segera tunaikan panggilan Allah jangan ditunda2 dan Bangunlah Malam Hari untuk Sholat Tahajjud lalu berdo’alah : Ya Allah Engaku Yang Maha Kaya, hanya Engkaulah yang pasti mampu membeli seluruh kambing yang saya jual, hanya Engkau harapanku satu-satunya “. Pada hari H – 2, dia datang lagi kepada saya melaporkan “ Alhamdulillah Ustadz, kambing saya tinggal dua ekor yang kecil “. Saat ini santri saya tersebut rutin berjualan kambing tiap Idul Qurban dan Buka Bengkel Servis Spring Bed, dikaruniai seorang anak mampu beli rumah dan mobil pick up
Sahabat sering kali kita dalam berdagang selalu mengedepankan Penampilan, letak yang strategis, kecanggihan sistem dan manajemen tetapi sering melupakan FAKTOR PENENTU yaitu ALLAH SWT, sejauhmana ketergantungan kita kepada kemahaanNYA ? sejauhmana sistem dan aturanNYA kita implementasikan ?
Ada dua orang dengan panggilan yang sama, yaitu Abah Komar. Yang satu tinggal di sekitar Cikampek berusaha 81 tahun. Dan yang satu lagi adalah tetangga saya di Cimahi dengan usia yang sepertinya tidak jauh dari 80-an. Keduanya sudah tua, namun keduanya memberikan inspirasi bagi saya.
Abah Komar yang di Cikampek, dengan usia setua itu masih berkeliling setiap hari dengan jalan kaki untuk menjajakan jasanya. Rata-rata setiap hari menempuh jarak sampai 20 km. Bukan jarak yang dekat bagi saya, apalagi bagi seorang kakek seusia 81 tahun ini. Jarak yang luar biasa jauh, yang menguras tenaga.
Mengapa Abah Komar melakukan ini? Satu alasan terucap dari mulutnya, yaitu tidak mau merepotkan anak dan cucu. Luar biasa, sebuah keinginan untuk tetap mandiri meski usia sudah senja. Padahal, sudah cukup alasan untuk menggantungkan hidup kepada anak dan cucu.
Sungguh malu, jika ada orang yang masih muda dan kuat tetapi tidak berusaha untuk mandiri. Masih menggantungkan hidup kepada orang lain, mudah menyerah, mengeluh, dan begitu mudah mengatakan sulit. Abah Komar, menempuh jarak 20 km per hari dengan penghasilan Rp 30.000 per hari, demi sebuah kemandirian.
Sementara Abah Komar tetangga saya juga luar biasa. Yang pertama si Abah (begitu saya memanggilnya) hampir tidak pernah absen untuk shalat shubuh di Masjid, bahkan beliaulah yang mengumandangkan adzan subuh dan menjadi iman untuk segelintir makmum yang jarang sekali anak mudanya.
Untuk hal mencari nafkah pun tidak kalah hebatnya. Dengan tubuh yang mungil dan sudah termakan usia, namun tidak kalah gesit dengan anak mudah saat bekerja sebagai kuli bangunan. Mendorong beban yang berat, memasang batu bata, dan berbagai pekerjaan yang menguras tanaga lainnya.
Terima kasih abah Komar (keduanya) yang telah memberikan inspirasi kepada saya agar tidak mudah menyerah. Yang telah memberi semangat menjadi pribadi yang mandiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain. Memberi contoh untuk memberikan kontribusi kepada orang lain. Semoga saya bisa meneladaninya.
Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seseorang itu makan makanan lebih baik dari hasil kerja tangannya sendiri. Karena sesungguhnya nabi Daud as senantiasa makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” ( H.R Bukhari )
Dalam kesempatan lain Nabi bertemu dengan seorang sahabat, Sa'ad al-Anshari yang memperlihatkan tangannya yang melepuhkarena kerja keras. Nabi bertanya, "mengapa tanganmu hitam, kasar dan melepuh?" Sa'ad menjawab, "tangan ini kupergunakan untuk mencari nafkah bagi keluargaku." Nabi yang mulia berkata, "ini tangan yang dicintai Allah," seraya mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh itu. Bayangkanlah, Nabi yang tangannya selalu berebut untuk dicium oleh para sahabat, kini
mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh.
Ada Keindahan Dalam Kesulitan.....
Nabi SAW. pernah bersabda;
“Tidaklah
kamu bercampur dengan keduniaan itu melainkan kamu dikotori sebagaimana
orang yang masuk ke air, pasti akan basah”.
Nabi Isa Alaihissalam pernah berkata :
“Orang yang cinta kepada dunia itu ibarat orang yang
meminum air laut, makin diminum makin haus hingga akhirnya ia binasa, namun dahaga tidak juga hilang”.
بسم الله الرحمن الرحيم
Bismillahi minal awwali wal akhiri.... Bismillahi Nawaitu Lilahi Ta'ala.....,
Jika hendak memilih teman sejati atau pasangan hidup sesungguhnya, lihatlah dirinya ketika menghadapi masalah dan bagaimana cara dia menyelesaikan masalah tersebut. Sebab sosok pribadi yang sesungguhnya terlihat disaat bagaimana dia menyeselesaikan masalahnya.
Imam Gazali dalam Ihya `Ulumuddin mengatakan bahwa setiap kali target ditingkatkan maka jalannya menjadi sulit, kendalanya banyak dan dibutuhkan waktu lebih lama, kullama zada al mathlub sho`uba masalikuhu wa katsura `aqabatuhu wa thala zamanuhu. Jadi tingkat kesulitan berhubungan dengan tingkat target. Jika orang ingin sekedar senang dalam hidup, maka ia dapat mencari kesenangan instan, pergi ke tempat hiburan, berfoya-foya dan berpesta pora. Tetapi jika seseorang ingin meraih kebahagiaan, maka ia justru harus siap menderita menghadapi kesulitan, melupakan kesenangan jangka pendek.
Manusia didesain oleh Alloh SWT dengan sempurna, memiliki akal sebagai alat berfikir, hati sebagai alat memahami, nurani sebagai alat interospeksi, syahwat sebagai penggerak tingkah laku dan hawa nafsu sebagai tantangan. Kesemuanya itu dirancang untuk menghadapi medan kehidupan yang sulit. Dengan akal manusia bisa memecahkan masalah yang sulit, dengan hati manusia bisa menerima kenyataan yang pahit, dengan nurani manusia bisa mundur selangkah demi memperbaiki diri, dengan syahwat membuat manusia dinamis mencari dan dengan hawa nafsu manusia menjadi tertantang untuk mampu mengendalkan diri.
Manusia di satu sisi memang menyukai stabilitas dan kenyamanan hidup, tetapi di sisi lain manusia juga menyukai kesulitan. Manusia tidak selalu lari dari kesulitan, sebaliknya justru menantang kesulitan. Jika dalam kehidupan sehari-hari hidup selalu stabil dan nyaman tanpa menjumpai kesulitan, maka dibuatlah stimulasi agar orang menaklukkan kesulitan buatan. Mahasiswa berlomba naik tebing buatan (wall climbing), pembalap mobil mencari medan berlumpur, yang berperahu mengikuti arum jeram, setiap agustusan orang ramai-ramai memanjat pohon pinang yang dilumuri olie, yang sudah punya dua kaki justeru berlomba lari dalam karung.
Banyak sekali kesulitan yang sengaja dibuat untuk ditaklukkan, mengapa ? karena manusia memang memiliki tabiat tertantang. Kesulitan buatan pada umumnya hanya melahirkan kesenangan, yakni senang menjadi juara, tetapi belum tentu sampai kepada kebahagiaan. Kesusahan biasanya menambahi kesulitan, tetapi tidak semua kesulitan membuat susah. Ada keindahan dalam kesulitan yaitu disaat kita menyandarkan semua kesulitan kepada Sang Khaliq.
sumber : agussyafii blog
aku ingin menjadi matahari, yang selalu bersinar di pagi hari, memberi
harapan baru bagi setiap umat manusia..... menyemangati dikala putus asa
dan menemani dikala sendirian.... Sinarku insya Allah memberi panas yang dibutuhkan
untuk sekedar menghangatkan jiwa dan Qalbu yg sakit yg hampir mati dalam kebekuan belantara nafsu Liar Syahwat atau mencoba tuk mau merubah warna jiwa siapa pun para insan umat Islam Diennullah-Nya menjadi aneka nikmat-Nya yg selalu akan bersyukur.....
Hukumi aku dengan kasih sayang-Mu.., bukan dengan keadilan-Mu....
بسم الله الرحمن الرحيم
Bismillahi minal awwali wal akhiri.... Bismillahi Nawaitu Lilahi Ta'ala.....,
Manakala engkau menunutut ganjaran atas suatu amal, maka engkau dituntut keikhlasan dalam beramal. Cukuplah bagi orang yang bimbang jika ia menemukan keselamatan. (Kitab Al Hikam).
Saudaraku, apabila engkau menuntut upah / pahala untuk sesuatu amal perbuatan, pasti engkau juga akan dituntut kesempurnaan dan keikhlasanmu dalam beramal melakukan perbuatan itu.
Terkadang sebuah amal masih banyak cacat celanya di sana sini. Bagi seorang yang merasa belum sempurna amalnya, maka ia harus merasa cukup puas jika ia telah selamat dari tuntutan Allah terhadap (kesempurnaan ibadahnya).
Sahabatku sedapat mungkin janganlah engkau menuntut keadilan kepada Allah. Mungkin engkau mengetahui sebuah dalil, bahwa orang yang beribadah akan masuk surga. Yang karenanya engkau menuntut surga karena engkau telah melakukan suatu ibadah.
Harus kau ketahui ibadah seperti apa yang bisa memasukkan seseorang ke surga. Tentu ibadah yang sempurna bukan ? sahabat, jika ibadahmu tidak sempurna, bukankah masih untung Allah tidak marah dan menghukummu karenanya.”
Saudaraku, janganlah engkau menuntut surga karena ibadah shalatmu. Tapi tuntutlah kasih sayang Allah kepadamu. Jika Allah menyayangimu, maka Ia akan menghukummu dengan kasih sayang-Nya, dan memaafkan ketidaksempurnaan cacat cela ibadahmu. Dengan demikian ibadah shalatmu tetap dianggap ibadah yang sempurna, dan tercatat atas namamu.
Jangan engkau meminta keadilan hukum kepada Allah. Engkau tidak akan sanggup menghadapinya. Jika Allah menghukummu dengan keadilannya, maka cacat dan cela dalam shalatmu dapat melahirkan kemarahan-Nya dan hukuman yang pahit. Sedangkan jika Allah menghukummu dengan kasih sayang-Nya, maka Allah akan seperti seorang ibu, yang akan tetap menyayangi anaknya, walaupun anaknya bengal dan membantah perintahnya.
Sebagaimana dua orang pernah berkata :
Khair Annassaj berkata: Timbangan amalmu itu sesuai dengan perbuatanmu, karena itu mintalah kemurahan kurniaNya, dan itulah yang baik bagimu. Al-Wasithy berkata: Ibadat-ibadat itu lebih dekat kepada mengharap maaf dan ampun daripada mengharap pahala dan upah.
Annash-rabadzy berkata: Ibadat-ibadat itu bila diperhatikan kekurangan-kekurangannya, lebih dekat kepada mengharap maaf daripada mengharap pahala dan upah.
Bukankah seyogianya kita minta maaf sama Allah karena shalat kita yang belepotan itu, kemudian berdoalah seperti ini, “Ya Allah, hukumi aku dengan kasih sayang-Mu, jangan dengan keadilan-Mu.”
Amin......
Semoga Bermanfaat
“Tidaklah
kamu bercampur dengan keduniaan itu melainkan kamu dikotori sebagaimana
orang yang masuk ke air, pasti akan basah”.
Nabi Isa Alaihissalam pernah berkata :
“Orang yang cinta kepada dunia itu ibarat orang yang
meminum air laut, makin diminum makin haus hingga akhirnya ia binasa, namun dahaga tidak juga hilang”.
بسم الله الرحمن الرحيم
Bismillahi minal awwali wal akhiri.... Bismillahi Nawaitu Lilahi Ta'ala.....,
Jika hendak memilih teman sejati atau pasangan hidup sesungguhnya, lihatlah dirinya ketika menghadapi masalah dan bagaimana cara dia menyelesaikan masalah tersebut. Sebab sosok pribadi yang sesungguhnya terlihat disaat bagaimana dia menyeselesaikan masalahnya.
Imam Gazali dalam Ihya `Ulumuddin mengatakan bahwa setiap kali target ditingkatkan maka jalannya menjadi sulit, kendalanya banyak dan dibutuhkan waktu lebih lama, kullama zada al mathlub sho`uba masalikuhu wa katsura `aqabatuhu wa thala zamanuhu. Jadi tingkat kesulitan berhubungan dengan tingkat target. Jika orang ingin sekedar senang dalam hidup, maka ia dapat mencari kesenangan instan, pergi ke tempat hiburan, berfoya-foya dan berpesta pora. Tetapi jika seseorang ingin meraih kebahagiaan, maka ia justru harus siap menderita menghadapi kesulitan, melupakan kesenangan jangka pendek.
Manusia didesain oleh Alloh SWT dengan sempurna, memiliki akal sebagai alat berfikir, hati sebagai alat memahami, nurani sebagai alat interospeksi, syahwat sebagai penggerak tingkah laku dan hawa nafsu sebagai tantangan. Kesemuanya itu dirancang untuk menghadapi medan kehidupan yang sulit. Dengan akal manusia bisa memecahkan masalah yang sulit, dengan hati manusia bisa menerima kenyataan yang pahit, dengan nurani manusia bisa mundur selangkah demi memperbaiki diri, dengan syahwat membuat manusia dinamis mencari dan dengan hawa nafsu manusia menjadi tertantang untuk mampu mengendalkan diri.
Manusia di satu sisi memang menyukai stabilitas dan kenyamanan hidup, tetapi di sisi lain manusia juga menyukai kesulitan. Manusia tidak selalu lari dari kesulitan, sebaliknya justru menantang kesulitan. Jika dalam kehidupan sehari-hari hidup selalu stabil dan nyaman tanpa menjumpai kesulitan, maka dibuatlah stimulasi agar orang menaklukkan kesulitan buatan. Mahasiswa berlomba naik tebing buatan (wall climbing), pembalap mobil mencari medan berlumpur, yang berperahu mengikuti arum jeram, setiap agustusan orang ramai-ramai memanjat pohon pinang yang dilumuri olie, yang sudah punya dua kaki justeru berlomba lari dalam karung.
Banyak sekali kesulitan yang sengaja dibuat untuk ditaklukkan, mengapa ? karena manusia memang memiliki tabiat tertantang. Kesulitan buatan pada umumnya hanya melahirkan kesenangan, yakni senang menjadi juara, tetapi belum tentu sampai kepada kebahagiaan. Kesusahan biasanya menambahi kesulitan, tetapi tidak semua kesulitan membuat susah. Ada keindahan dalam kesulitan yaitu disaat kita menyandarkan semua kesulitan kepada Sang Khaliq.
sumber : agussyafii blog
aku ingin menjadi matahari, yang selalu bersinar di pagi hari, memberi
harapan baru bagi setiap umat manusia..... menyemangati dikala putus asa
dan menemani dikala sendirian.... Sinarku insya Allah memberi panas yang dibutuhkan
untuk sekedar menghangatkan jiwa dan Qalbu yg sakit yg hampir mati dalam kebekuan belantara nafsu Liar Syahwat atau mencoba tuk mau merubah warna jiwa siapa pun para insan umat Islam Diennullah-Nya menjadi aneka nikmat-Nya yg selalu akan bersyukur.....
Hukumi aku dengan kasih sayang-Mu.., bukan dengan keadilan-Mu....
بسم الله الرحمن الرحيم
Bismillahi minal awwali wal akhiri.... Bismillahi Nawaitu Lilahi Ta'ala.....,
Manakala engkau menunutut ganjaran atas suatu amal, maka engkau dituntut keikhlasan dalam beramal. Cukuplah bagi orang yang bimbang jika ia menemukan keselamatan. (Kitab Al Hikam).
Saudaraku, apabila engkau menuntut upah / pahala untuk sesuatu amal perbuatan, pasti engkau juga akan dituntut kesempurnaan dan keikhlasanmu dalam beramal melakukan perbuatan itu.
Terkadang sebuah amal masih banyak cacat celanya di sana sini. Bagi seorang yang merasa belum sempurna amalnya, maka ia harus merasa cukup puas jika ia telah selamat dari tuntutan Allah terhadap (kesempurnaan ibadahnya).
Sahabatku sedapat mungkin janganlah engkau menuntut keadilan kepada Allah. Mungkin engkau mengetahui sebuah dalil, bahwa orang yang beribadah akan masuk surga. Yang karenanya engkau menuntut surga karena engkau telah melakukan suatu ibadah.
Harus kau ketahui ibadah seperti apa yang bisa memasukkan seseorang ke surga. Tentu ibadah yang sempurna bukan ? sahabat, jika ibadahmu tidak sempurna, bukankah masih untung Allah tidak marah dan menghukummu karenanya.”
Saudaraku, janganlah engkau menuntut surga karena ibadah shalatmu. Tapi tuntutlah kasih sayang Allah kepadamu. Jika Allah menyayangimu, maka Ia akan menghukummu dengan kasih sayang-Nya, dan memaafkan ketidaksempurnaan cacat cela ibadahmu. Dengan demikian ibadah shalatmu tetap dianggap ibadah yang sempurna, dan tercatat atas namamu.
Jangan engkau meminta keadilan hukum kepada Allah. Engkau tidak akan sanggup menghadapinya. Jika Allah menghukummu dengan keadilannya, maka cacat dan cela dalam shalatmu dapat melahirkan kemarahan-Nya dan hukuman yang pahit. Sedangkan jika Allah menghukummu dengan kasih sayang-Nya, maka Allah akan seperti seorang ibu, yang akan tetap menyayangi anaknya, walaupun anaknya bengal dan membantah perintahnya.
Sebagaimana dua orang pernah berkata :
Khair Annassaj berkata: Timbangan amalmu itu sesuai dengan perbuatanmu, karena itu mintalah kemurahan kurniaNya, dan itulah yang baik bagimu. Al-Wasithy berkata: Ibadat-ibadat itu lebih dekat kepada mengharap maaf dan ampun daripada mengharap pahala dan upah.
Annash-rabadzy berkata: Ibadat-ibadat itu bila diperhatikan kekurangan-kekurangannya, lebih dekat kepada mengharap maaf daripada mengharap pahala dan upah.
Bukankah seyogianya kita minta maaf sama Allah karena shalat kita yang belepotan itu, kemudian berdoalah seperti ini, “Ya Allah, hukumi aku dengan kasih sayang-Mu, jangan dengan keadilan-Mu.”
Amin......
Semoga Bermanfaat
Langganan:
Postingan (Atom)