Di suatu daerah hiduplah seorang anak dalam keluarga yang bahagia bersama dengan orang tua dan sanak saudaranya. Dan dia selalu menganggap itu sesuatu yang wajar saja.
Dia bisa bebas bermain, mengganggu adik dan kakaknya, dan membuat masalah bagi orang lain adalah kesukaannya. Ketika menyadari kesalahannya dan mau minta maaf, dia selalu berkata, “Tidak apa-apa, besok kan bisa”.
Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Semua itu begitu saja dijalaninya sehingga dia merasa bahwa hal itu memang sudah sewajarnya.
Suatu hari, dia berkelahi dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi tidak pernah mengambil inisiatif untuk meminta maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya, “Tidak apa-apa, besok kan bisa”.
Ketika dia agak besar lagi, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun dia masih sering melihat temannya itu tapi itu bukanlah masalah karena dia masih punya banyak teman baik yang lainnya. Dia dan teman-temannya melakukan segala sesuatu bersama-sama, bermain, mengerjakan PR, dan jalan-jalan. Ya, mereka semua teman-teman yang paling baik.
Setelah lulus, kerja membuatnya sibuk. Dia bertemu dengan seorang cewek yang sangat cantik dan baik. Cewek ini kemudian menjadi pacarnya.
Dia begitu terhanyut dengan pekerjaannya karena dia ingin dipromosikan ke posisi paling tinggi dalam waktu yang sesingkat mingkin. Tentu, dia rindu untuk bertemu teman-temannya tapi dia tidak pernah lagi menghubungi mereka, sekalipun hanya melalui telepon. Dia selalu berkata, “Ah, aku capek, besok saja aku menghubungi mereka”. Ini tidak terlalu mengganggu dia karena dia punya teman-teman sekerja yang selalu mau diajak keluar. Jadi waktupun berlalu, dan dia lupa sama sekali untuk menelpon teman-temannya.
Setelah dia menikah dan punya anak, dia bekerja lebih keras lagi agar dapat membahagiakan keluarganya. Begitu sibuknya dia sehingga dia bahkan tidak pernah lagi ada waktu untuk membeli bunga atau hadiah lain untuk istrinya ataupun mengingat hari ulang tahun istrinya dan juga hari pernikahan mereka. Itu tidak menjadi masalah baginya karena istrinya selalu mengerti dia dan tidak pernah menyalahkannya.
Tentu, kadang-kadang dia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan tapi dia tidak pernah sungguh-sungguh mengupayakannya. Alasannya, “Tidak apa-apa, besok saya pasti masih bisa melakukannya” .. Dia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya, dan dia tidak tahu bahwa ini akan berpengaruh terhadap perkembangan anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya dan tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan ayahnya.
Suatu hari, kemalangan datang ketika istrinya tewas dalam kecelakaan, istrinya ditabrak lari. Ketika kejadian itu terjadi, dia sedang mengikuti rapat. Dia tidak sadar bahwa itu adalah kecelakaan yang fatal dan dia baru tiba di rumah sakit saat istrinya sudah hampir dijemput maut. Dan sebelum dia sempat berkata, “Aku cinta kamu”, istrinya telah meninggal dunia.
Laki-laki itu remuk hatinya dan mencoba menghibur diri dengan mendekatkan diri kepada anak-anaknya setelah kematian istrinya, tapi dia baru sadar bahwa anak-anaknya tidak mau (tidak terbiasa) berkomunikasi dengannya.
Segera, anak-anaknya tumbuh dewasa dan membangun keluarga mereka masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan orang tua ini, yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktu untuk mereka.
Saat mulai renta, dia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik. Dia menggunakan uang yang semula disimpannya untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke 50, 60 dan 70.
Semula uang itu akan dipakainya untuk pergi ke Hawaii, New Zealand dan negara-negara lainnya bersama istrinya tapi kini dipakainya untuk membayar biaya tinggal di rumah jompo tersebut. Sejak itu sampai dia meninggal, dia hanya ditemani oleh orang-orang tua sesama penghuni panti dan suster yang merawatnya.
Kini dia merasa sangat kesepian, perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Saat mau meninggal, dia memanggil seorang suster dan berkata kepadanya, “Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu……” Kemudian perlahan-lahan ia menghembuskan napas terakhir, dan dia meninggal dunia dengan air mata dipipinya.
Apa yang saya ingin coba katakan pada anda, waktu itu tidak pernah berhenti. Anda terus maju dan maju, dan sebelum benar-benar menyadari, anda ternyata telah maju terlalu jauh. Jika anda pernah bertengkar, segeralah berbaikan dan jika kamu merasa ingin mendengar suara temanmu, jangan ragu-ragu untuk meneleponnya segera.
Terakhir… tapi ini yang paling penting, jika kamu merasa ingin mengatakan kepada seseorang bahwa kamu menyayangi dia, jangan tunggu sampai terlambat. Jika kamu terus berpikir bahwa masih ada hari esok untuk memberitahu, sadarlah bahwa mungkin hari tersebut tidak akan datang. Jika kamu selalu berpikir bahwa besok akan datang, maka “besok” akan pergi dengan begitu cepatnya hingga kamu baru menyadarinya ketika kesempatan itu telah meninggalkanmu.
Selasa, 01 Juni 2010
Kebahagiaan ada dimana – mana
Suatu ketika, terdapat seorang pemuda di tepian telaga. Ia tampak termenung. Tatapan matanya kosong, menatap hamparan air di depannya. Seluruh penjuru mata angin telah di lewatinya, namun tak ada satupun titik yang membuatnya puas. Kekosongan makin senyap, sampai ada suara yang menyapanya. Ada orang lain disana. “Sedang apa kau disini anak muda?” tanya seseorang. Rupanya ada seorang kakek tua. “Apa yang kau risaukan..?” Anak muda itu menoleh ke samping, “Aku lelah Pak Tua. Telah berkilo-kilo jarak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak juga kutemukan rasa itu dalam diriku.
Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemana kah aku harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu?” Kakek Tua duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. Di pandangnya wajah lelah di depannya. Lalu, ia mulai bicara, “di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku. Mereka berpandangan. “Ya…tangkaplah seekor kupu-kupu buatku dengan tanganmu” sang Kakek mengulang kalimatnya lagi. Perlahan pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tak berapa lama, dijumpainya taman itu.
Taman yang yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang berterbangan disana. Sang kakek, melihat dari kejauhan, memperhatikan tingkah yang diperbuat pemuda yang sedang gelisah itu. Anak muda itu mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! sasaran itu luput. Di kejarnya kupu-kupu itu ke arah lain. Ia tak mau kehilangan buruan. Namun lagi-lagi. Hap!. Ia gagal.
Ia mulai berlari tak beraturan. Diterjangnya sana-sini. Ditabraknya rerumputan dan tanaman untuk mendapatkan kupu-kupu itu. Diterobosnya semak dan perdu di sana. Gerakannya semakin liar. Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat ditangkap. Sang pemuda mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik-turun dengan cepat. Sampai akhirnya ada teriakan, “Hentikan dulu anak muda. Istirahatlah. ” Tampak sang Kakek yang berjalan perlahan. Tapi lihatlah, ada sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sisi kanan-kiri kakek itu. Mereka terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu.
“Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa yang kau rusak?” Sang Kakek menatap pemuda itu. “Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu.”
“Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kau genggam, atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari kemana-mana. Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri.” Kakek Tua itu mengangkat tangannya.
Hap, tiba-tiba, tampak seekor kupu-kupu yang hinggap di ujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu-kupu itu, memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya. Mencari kebahagiaan adalah layaknya menangkap kupu-kupu. Sulit, bagi mereka yang terlalu bernafsu, namun mudah, bagi mereka yang tahu apa yang mereka cari. Kita mungkin dapat mencarinya dengan menerjang sana-sini, menabrak sana-sini, atau menerobos sana-sini untuk mendapatkannya.
Kita dapat saja mengejarnya dengan berlari kencang, ke seluruh penjuru arah. Kita pun dapat meraihnya dengan bernafsu, seperti menangkap buruan yang dapat kita santap setelah mendapatkannya. Namun kita belajar. Kita belajar bahwa kebahagiaan tak bisa di dapat dengan cara-cara seperti itu.
Kita belajar bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang dapat di genggam atau benda yang dapat disimpan. Bahagia adalah udara, dan kebahagiaan adalah aroma dari udara itu. Kita belajar bahwa bahagia itu memang ada dalam hati. Semakin kita mengejarnya, semakin pula kebahagiaan itu akan pergi dari kita. Semakin kita berusaha meraihnya, semakin pula kebahagiaan itu akan menjauh. Cobalah temukan kebahagiaan itu dalam hatimu. Biarkanlah rasa itu menetap, dan abadi dalam hati kita. Temukanlah kebahagiaan itu dalam setiap langkah yang kita lakukan.
Dalam bekerja, dalam belajar, dalam menjalani hidup kita. Dalam sedih, dalam gembira, dalam sunyi dan dalam riuh. Temukanlah bahagia itu, dengan perlahan, dalam tenang, dalam ketulusan hati kita. Percayalah, kebahagiaan itu ada dimana-mana. Rasa itu ada di sekitar kita. Bahkan mungkin, bahagia itu “hinggap” di hati kita, namun kita tak pernah memperdulikannya. Mungkin juga, bahagia itu berterbangan di sekeliling kita, namun kita terlalu acuh untuk menikmatinya.
Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemana kah aku harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu?” Kakek Tua duduk semakin dekat, mendengarkan dengan penuh perhatian. Di pandangnya wajah lelah di depannya. Lalu, ia mulai bicara, “di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku. Mereka berpandangan. “Ya…tangkaplah seekor kupu-kupu buatku dengan tanganmu” sang Kakek mengulang kalimatnya lagi. Perlahan pemuda itu bangkit. Langkahnya menuju satu arah, taman. Tak berapa lama, dijumpainya taman itu.
Taman yang yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang berterbangan disana. Sang kakek, melihat dari kejauhan, memperhatikan tingkah yang diperbuat pemuda yang sedang gelisah itu. Anak muda itu mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! sasaran itu luput. Di kejarnya kupu-kupu itu ke arah lain. Ia tak mau kehilangan buruan. Namun lagi-lagi. Hap!. Ia gagal.
Ia mulai berlari tak beraturan. Diterjangnya sana-sini. Ditabraknya rerumputan dan tanaman untuk mendapatkan kupu-kupu itu. Diterobosnya semak dan perdu di sana. Gerakannya semakin liar. Adegan itu terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat ditangkap. Sang pemuda mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik-turun dengan cepat. Sampai akhirnya ada teriakan, “Hentikan dulu anak muda. Istirahatlah. ” Tampak sang Kakek yang berjalan perlahan. Tapi lihatlah, ada sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sisi kanan-kiri kakek itu. Mereka terbang berkeliling, sesekali hinggap di tubuh tua itu.
“Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa yang kau rusak?” Sang Kakek menatap pemuda itu. “Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu.”
“Namun, tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kau genggam, atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari kemana-mana. Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri.” Kakek Tua itu mengangkat tangannya.
Hap, tiba-tiba, tampak seekor kupu-kupu yang hinggap di ujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu-kupu itu, memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya. Mencari kebahagiaan adalah layaknya menangkap kupu-kupu. Sulit, bagi mereka yang terlalu bernafsu, namun mudah, bagi mereka yang tahu apa yang mereka cari. Kita mungkin dapat mencarinya dengan menerjang sana-sini, menabrak sana-sini, atau menerobos sana-sini untuk mendapatkannya.
Kita dapat saja mengejarnya dengan berlari kencang, ke seluruh penjuru arah. Kita pun dapat meraihnya dengan bernafsu, seperti menangkap buruan yang dapat kita santap setelah mendapatkannya. Namun kita belajar. Kita belajar bahwa kebahagiaan tak bisa di dapat dengan cara-cara seperti itu.
Kita belajar bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang dapat di genggam atau benda yang dapat disimpan. Bahagia adalah udara, dan kebahagiaan adalah aroma dari udara itu. Kita belajar bahwa bahagia itu memang ada dalam hati. Semakin kita mengejarnya, semakin pula kebahagiaan itu akan pergi dari kita. Semakin kita berusaha meraihnya, semakin pula kebahagiaan itu akan menjauh. Cobalah temukan kebahagiaan itu dalam hatimu. Biarkanlah rasa itu menetap, dan abadi dalam hati kita. Temukanlah kebahagiaan itu dalam setiap langkah yang kita lakukan.
Dalam bekerja, dalam belajar, dalam menjalani hidup kita. Dalam sedih, dalam gembira, dalam sunyi dan dalam riuh. Temukanlah bahagia itu, dengan perlahan, dalam tenang, dalam ketulusan hati kita. Percayalah, kebahagiaan itu ada dimana-mana. Rasa itu ada di sekitar kita. Bahkan mungkin, bahagia itu “hinggap” di hati kita, namun kita tak pernah memperdulikannya. Mungkin juga, bahagia itu berterbangan di sekeliling kita, namun kita terlalu acuh untuk menikmatinya.
Langganan:
Postingan (Atom)